KASUS PROSTITUSI SEDANG MENCUAT, STOP BIKIN LELUCON?




Kasus prostitusi online bukanlah masalah baru di Indonesia. Beberapa hari yang lalu, kita digegerkan dengan sebuah kasus prostitusi yang melibatkan beberapa artis. Menjadi headline berita di mana-mana serta menjadi trending di berbagai sosial media. Bahkan lelucon 80 Jt mulai beredar dari parodi hingga meme. Bahkan yang melakukan lelucon tersebut adalah kalangan remaja sebagai pengguna media sosial.

Dalam studi yang dilakukan oleh Christopher J. Hunt, psikolog klinis dari University of Sidney, dipaparkan bahwa laki-laki melontarkan komentar atau lelucon seksis untuk memperkuat ikatan dengan sesama teman laki-lakinya. Alih-alih menghiraukan perempuan yang menjadi objek lelucon, mereka lebih memikirkan bagaimana tanggapan teman sejenisnya ketika mengutarakan pernyataan seksis tentang perempuan.

Lalu apa itu seksisme?
Seksisme memiliki 1 arti. Seksisme memiliki arti dalam bidang ilmu linguistik. Seksisme memiliki arti dalam kelas nomina atau kata benda sehingga seksisme dapat menyatakan nama dari seseorang, tempat, atau semua benda dan segala yang dibendakan.
makna pengertian dan definisi seksisme berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Online dan sumber lainnya yaitu “Seksisme berarti penggunaan kata atau frasa yang meremehkan atau menghina berkenaan dengan kelompok, gender, ataupun individual’.

Persetujuan dari sesama laki-laki untuk membuat lelucon merendahkan perempuan pada akhirnya menjadi suatu norma sosial yang diterima di berbagai konteks masyarakat. Begitu norma sosial "mengizinkan" mereka untuk mengeluarkan kata-kata diskriminatif dan penuh prasangka, orang-orang pun tak segan melecehkan perempuan yang masih dipandang sebagai warga kelas dua.

Semakin sering orang mengatakan, “Itu kan, cuma lawakan”, semakin bermunculannya meme dan parodi-parodi seksis yang kemungkinan akan semakin besar pula seksisme dilanggengkan dalam macam-macam konteks.

Meskipun bukan perkara mudah untuk meningkatkan kesadaran agar tidak menggunakan bahasa-bahasa atau melemparkan lelucon seksis, bukan berarti hal ini tak dapat dilakukan. Hunt memandang, peran para laki-laki berpengaruh dalam peer group atau pemangku jabatan strategis begitu signifikan dalam mengubah cara pandang dan berperilaku seksis. 
Karena itu secara sosial lelucon seksis dapat dikurangi dengan adanya kerjasama antara laki-laki dan perempuan dalam mencipatakan suatu lingkungan yang bebas diskriminasi. Karena itu dibutuhkan kerjasama secara khusus diantara laki-laki dan perempuan dan secara umum kerjasama dalam berbagai elemen.

Terbukti dengan kasus prostitusi yang mencuat, pada awalnya menggunakan inisial lalu muncul berita selanjutnya menemukan nama artis hingga pembukaan identitas secara terang-terangan.
Tentunya pihak kepolisian kembali disorot atas kasus prostitusi online karena membeberkan nama VA, artis yang melakukan praktek prostitusi. Dalam kasus ini, polisi Jawa Timur pun tak membeberkan nama pengguna jasa prostitusi online itu.

Seperti diberitakan Detik.com, alasan polisi tak membongkar nama pelanggan adalah karena tak mau membuka aib seseorang. Pengusaha berinisial R yang memesan VA pun dilepas karena statusnya hanya sebagai saksi. Polisi mengatakan bahwa mereka lebih lama menahan VA karena akan ingin mengungkap jaringan germo alias muncikari.

“Karena tidak ada undang-undang yang menjerat. Sementara kita periksa sebagai saksi. Pasalnya yang kita terapkan muncikari, karena penyedianya kan muncikari,” ujar Kasubdit V Cyber Crime Ditreskrimsus Polda Jatim AKBP Harissandi kepadaDetik.com.

Kejadian lain yang tak kalah ramai diperbincangkan adalah video unggahan Bagas Maulana Sakti, seorang polisi muda yang bertugas sebagai Binmas di Kepolisian Sektor Rongkop, Kepolisian Resor Gunung Kidul, Kepolisian Daerah Yogyakarta.
Anggota Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) Poengky Indarti mengatakan sebenarnya dalam konferensi pers di Polda Jawa Timur, polisi hanya memberikan inisial saja. Nama VA muncul setelah yang bersangkutan tertangkap dalam video tayangan berita di televisi dan berita online yang menampakkan sosok artis.

“Apalagi dengan publikasi yang luas karena yang bersangkutan adalah artis dan diduga tersangkut kasus pidana, maka mulailah muncul nama yang bersangkutan di media infotainmen,” tutur Poengky.

Sedangkan dalam video yang diunggah oleh Bagas Maulana Sakti, menurut Poengky, dia memiliki cara yang bagus untuk melaksanakan tugas polisi sebagai pelayan, pengayom, pelindung masyarakat, dan penegak hukum melalui video vlog. Namun, Poengky tak memungkiri adanya benturan nilai pada videonya yang berkaitan dengan isu gender, yakni melihat perempuan dari kacamata konservatif yang patriarkis.

Sikap Bagas Maulana Sakti, mejadi suatu pelajaran berarti, bahwa pentingnya memasukkan perspektif gender dalam ruang lingkup kepolisian hal ini bukan saja menjadi tugas dari pada Polwan melainkan pendidikan yang secara general yang tidak memandang unsur jenis kelamin untuk memahaminya, agar kedepannya pihak aparat kepolisian dalam menangani berbagai kasus terhadap perempuan kendati demikian tidak melakukan bias seksis, diskriminatif, dan misoginis.

Untuk itu sinergisitas antar pihak aparat dengan kementrian pemberdayaan perempuan, komnas perempuan hingga lembaga-lembaga pemerhati perempuan erat kaitannya. Untuk meminimalisir permasalahan yang terjadi pada perempuan dapat dimulai dari pihak kepolisian yang paham akan gender.

Karena secara tidak langsung perilaku seksis ada pada aparat kepolisian jika melakukkan penggerebekkan dan penangkapan mengajak pihak wartawan.
Tetapi perilaku seksis tidak stop sampai disini, media dan jurnalis turut andil dalam pemberitaan seksis dengan membuka identitas, mengekspos foto, dan menyorot keterlibatan VA. 

Sehingga menyebabkan masyarakat melakukan lelucon seksis dengan menggap suatu kegiatan lawakan yang wajar. Pengaruh kemajuan teknologi dan peran generasi milenial sangat berpengaruh terhadap kemajuan dan lingkungan sosial bangsa. Dengan melanggengnya lelucon seksis yang tersebar dengan cepat melalui media sosial pelan-pelan akan membentuk stigma dan menjadi perspektif yang dianggap “lumrah” diingkungan masyarakat belum lagi arus media sosial yang semakin meningkat.

Lantas, mengapa hukuman sosial hanya diberikan kepada perempuan saja? Apakah ini karena memang pemberitaan ini ramah bagi pageviews? Apalagi selain dia perempuan, ia juga berprofesi sebagai artis. Sungguh lebih menggiurkan lagi untuk dijadikan konten yang menarikbukan?

Hal ini bukan hanya terjadi sekali ini bahkan sudah terjadi berulang-ulang. Beberapa kasus prostitusi yang menyeret beberapa nama public figure dalam beberapa tahun belakang. Jika dibandingkan berapa banyak nama pemberi jasa yang disorot dan berapa banyak pihak yang meminta jasa tersebut, yang identitasnya dapat terungkap?

Perempuan dan dunia bisnis memang seakan-akan telah menjadi dua hal yang sulit dipisahkan. Pasalnya, perempuan dianggap sebagai makhluk yang diciptakan indah, cantik, dan mempesona. Anggapan tentang citra perempuan ini menjadi kesempatan yang tidak dilepaskan dengan mudah oleh ‘kaum kapitalis’ untuk pengembangan usaha mereka.

Sedikit menilik perspetif Islam memandang kasus prostitusi;
Dalam hukum Islam, tepatnya dalam surah an-Nur ayat 33 ditentukan larangan perdagangan orang untuk dilacurkan atau perdagangan pelacuran. Dan dalam surah an-Nur ayat 2 ditentukan hukuman cambuk 100 kali  bagi pezina laki-laki dan pezina perempuan yang terbukti melakukan zina.
Dalam hadis Rasulullah ﷺ ditentukan hukuman rajam bagi pezina laki-laki dan pezia  perempuan yang pernah menikah atau pezina yang sedang terikat dalam perkawinan ( muhshan dan muhshanah).
Karena itu, menurut hukum Islam, pelacuran adalah perzinaan. Karena itu, bagi pelaku pelacuran, baik pelacurnya maupun pemakai pelacur, jika tebukti, dikenakan hukuman atau hadd zina.
Akan tetapi bagi perempuan korban pelacuran, yaitu perempuan yang dipaksa melakukan pelacuran, maka ia tidak dikenakan hukuman atau hadd zina. Namun ia dikategorikan sebagai korban pemaksaan pelacuran. Dengan demikian, terhadap kotban pelacuran yang dipaksakan terhadap dirinya, berdasarkan ta’zir, ia dapat memperoleh ganti kerugian (restitusi). Sebagaimana kita ketahui bahwa banyak anak gadis lugu yang membutuhkan pekerjaan, mereka ditipu akan diberikan pekerjaan halal di kota, ternyata ia jadi korban pelacuran yang dipaksakan oleh mucukari.
Dengan demikian, maka hendaknya hukum di Indonesia secara tegas menentukan larangan pelacuran dan menentukan hukuman bagi  mucikari, pelacur dan pemakai pelacur yang dilakukan dengan kerelaan masing-masing, tanpa paksaan dari siapa pun. Karena pelacuran adalah perzinaan.
Zina adalah perbuatan pidana (jarimah) yang hukumannya ditentukan langsung dalam al-Quran surah an-Nur ayat 2 dan hadis Rasulullah ﷺ tentang kasus Ma’iz Bin Malik dan juga kasus Ghamidiyah yang dijatuhi hukuman rajam karena terbukti berzina. Sedangkan bagi orang yang dipaksa melakukan pelacuran hendaknya diberikan hak restitusi, terlebih jika akibat dari pemaksaan pelacuran itu dilahirkan anak hasil pemaksaan pelacuran. Tentu, syarat-syarat pemaksaan pelacuran harus ditentukan secara tegas.

Di antaranya ketentuan larangan pelacuran dan hukumannya, yang memang fakta sosial bahwa pelacuran merupakan perbuatan aib yang tidak diterima oleh masyarakat, dan perbuatan yang dilarang oleh ajaran agama yang ada di Indonesia, khususnya ajaran agama Islam.
Jika pelacuran dilegalkan karena alasan kurang tersedianya lapangan pekerjaan, maka alasan tersebut tidak dapat diterima, karena ternyata orang-orang yang menjadi pelacur, di antaranya adalah orang yang mempunyai pekerjaan.

Meski mengubah persepsi bukanlah hal yang mudah. Namun, semoga kasus ini dapat menjadi pengingat kita bersama. Bahwa dalam sebuah kasus prostitusi, tidak hanya pemberi jasa yang terlibat di dalamnya. Ia adalah sebuah bisnis, yang ada karena permintaan. Tidak adil rasanya, jika hukuman sosial hanya kita berikan pada salah satu pihak saja.

Untuk itu menjadi koreksi bersama apakah kita termasuk orang-orang yang melakukan tindakan seksisme karena tindakan seksis dapat terjadi dalam kehidupan sehari-hari.

LALU dimana peran generasi milenial dapat berpengaruh secara positif? Jawabannya adalah ada dipemikiran dan dijemari kita masing-masing. Untuk tetap belajar dan memperkaya ilmu dan menggunakan jejaring media sosial dengan bijak. Untuk itu lelucon seksime dapat diminimalisir dan meningkatkan pemahapan persepektif gender dalam semua aspek kehidupan. Baik  perspektif secara sosiologi dan agama tidak mendukung perilaku-perilaku yang merugikan orang lain terhadap suatu kelompok maupun individu.

Generasi Muda ? seharusnya hadir sebagai pemberi solusi dan penebar hal-hal positif, misalnya kamu yang telah membaca tulisan ini untuk dapat menyebarkan dan stop melakukan tindakan seksime.




Sumber informasi pendukung:
Www.hidayatullah.com/
https://mojok.co/amp/

Komentar

Postingan Populer