Dijajah Bangsa Sendiri Karena Rakyatlah Yang Berkuasa
BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR
BELAKANG
Pemilihan Kepala
Daerah atau yang sekarang lebih
dikenal dengan Pemilu Kada secara
langsung merupakan sebuah kebijakan yang diambil oleh pemerintah
dan menjadi momentum politik besar
yang sangat diharapkan oleh seluruh
masyarakat Indonesia sebagai pilihan
tepat untuk menuju demokratisasi.
Ini seiring juga dengan salah satu
tujuan reformasi, yaitu untuk
mewujudkan Indonesia yang lebih
demokratis yang hanya bisa dicapai
dengan mengembalikan kedaulatan
ke tangan rakyat.
Saat ini
bangsa Indonesia telah
melewati suatu babak
baru dalam pelaksanaan demokrasi,
di mana pemilihan umum mulai dari pemilihan legislatif sampai pada dua kali pemilihan Presiden boleh terlaksana dengan aman, jujur
dan adil. Pemilu yang dilaksanakan secara
langsung dengan memilih
kandidat-kandidat baik dari
calon legislatif maupun
calon eksekutif, memberikan kebebasan kepada
rakyat untuk memilih
sendiri kandidatnya. Pasca
reformasi tahun 1998 ini banyak mengalami perubahan mendasar yang
terjadi dalam sistem ketatanegaraan
Indonesia, diantaranya Pemilu
tahun 1999 yang
bersifat multipartai, dimana dibukanya
kembali kesempatan untuk
bergeraknya partai politik secara
bebas termaksud mendirikan
partai baru1. Kemudian yang
sangat signifikan lagi terjadi
dalam Pemilu tahun
2004 kemarin, selain
multipartai, Pemilu 2004 yang
lalu merupakan Pemilu pertama dimana rakyat memilih secara langsung wakil
rakyatnya. Pemilihan umum di tahun
2004 itu tentulah merupakan pemilihan umum perdana yang
memberikan kebebasan kepada
rakyat untuk memilih
secara langsung. Sebuah kehidupan
bangsa yang demokratis
selalu dilandasi prinsip bahwa
rakyatlah yang berdaulat sehingga berhak terlibat dalam
1. Miriam Budiardjo,
2009, Dasar – Dasar
Ilmu Politik. Edisi
revisi, Gramedia. Pustaka
Utama, Jakarta. Hlm 483
aktivitas politik. Dalam Pemilu
baik PILEG, PILPRES, maupun PILKADA peran serta keikutsertaan masyarakat sangat
penting, karena sukses tidaknya pelaksanaan PEMILU salah satunya adalah
ditentukan bagaimana partisipasi masyarakat dalam menggunakan hak pilihnya pada
Pemilu tersebut. Pemilu merupakan salah satu tonggak penting yang
merepresentasikan kedaulatan rakyat, sehingga dapat dikatakan bahwa tidak ada
negara demokrasi tanpa memberikan peluang adanya pemilihan umum yang dilakukan
secara sistematik dan berkala. Oleh karenanya pemilu digolongkan juga sebagai
elemen terpenting dalam sistem demokrasi. Apabila suatu negara telah
melaksanakan proses pemilu dengan baik, transparan, adil, teratur dan
berkesinambungan, maka negara tersebut dapat dikatakan sebagai negara yang
tingkat kedemokratisannya baik, namun sebaliknya apabila suatu negara tidak
melaksanakan pemilu atau tidak mampu melaksanakan pemilunya dengan baik, dimana
terjadinya berbagai kecurangan, diskriminasi, maka negara itu pula dinilai
sebagai negara yang anti demokrasi. Pelaksanaan demokrasi indonesia saat ini
sedang berjalan menuju demokrasi yang dewasa, dimana rakyat sebagai pemegang
kekuasaan tertinggi tampak terlihat jelas. Partisipasi masyarakat dalam politik
menunjukkan bahawa demokrasi semakin tampak di indonesia.
Partisipasi politik masyarakat
merupakan salah satu bentuk aktualisasi dari proses demokratisasi. Keinginan
ini menjadi sangat penting bagi masyarakat dalam proses pembangunan politik
bagi negara-negara berkembang seperti di indonesia. Sistem ini membuka ruang
dan membawa masyarkat untuk terlibat langsung dalam proses tersebut. Dan saat
ini, kita tengah melakoni sistem demokrasi yang memberi "kewenangan"
dan "kebebasan" penuh kepada rakyat untuk menetapkan pemimpin nya. Walaupun
para pemimpin yang nantinya akan dipilih lewat partai politik, maupun calon
pemimpin dari kalangan independen, sesungguh nya bangsa kita, tengah berupaya
untuk memberi penghormatan dan pengakuan kepada rakyat nya sendiri, setelah
kurang lebih 32 tahun lama nya terjebak dalam sistem demokrasi yang diatur. Lewat
kewenangan dan kebebasan yang diberikan kepada rakyat, bukan menjadi hal yang
tabu jika kenyataanya hari ini suara rakyat menjadi suatu komoditi. Barang di
sini bukan sekedar benda biasa, tetapi sesuatu yang mengandung keuntungan
material dan bebas diperjual belikan. Inilah yang Kemudian disebut komoditas. Suara-suara
rakyat yang sebenarnya tak ternilai harganya itu, ketika sudah masuk dalam
kalkulasi politik, akhirnya menjadi komoditas politik. Suara itu akhir nya
dengan bebas diperjual belikan untuk kepentingan pragmatis, dijadikan sebagai
alat tawar menawar kekuasaan, sebagai alat barter untuk menduduki posisi di
kabinet atau pos birokrasi lainnya.
Dengan kemampuan pemimpin dalam
beretorika politik sehingga bukan hal baru ketika hanya menjadi alat untuk
menarik massa dengan berbagai macam cara, dalam hal ini setiap masyarakat
mempunyai perspektif yang berbeda latar belakang, perbedaan sudut pandang
secara geografis, kesadaraan dan kebutuhan berpolitik berpengaruh secara
geografis masyarakat, bahkan posisi masyarakat dan profesi ikut menunjang dalam
hal ini.
Ditengah keganjilan zaman dengan berbagai
macam polemik yang muncul pra maupun
pasca Pilkada. Menyadarkan kita sebagai rakyat bahwa hari ini masi banyak hal
yang harus diperbaiki dan ditegakkan. Oleh karena itu, makalah ini akan sedikit
mengkaji terhadap konsep masyarakat dan calon pemimpin serta mengangkat studi
kasus terkait perspektif masyarakat yang berbeda latar belakang.
B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang
diatas maka dapat dirumuskan beberapa masalah yaitu :
1.
Bagaimana kondisi partisipasi politik dikalangan masyarakat
dalam pelaksanaan Pilkada?
2.
Apakah retorika politik kebohongan mempengaruhi
partisipasi masyarakat dalam pilkada?
3.
Bagaimana seharusnya moralitas dan etika politik (kekuasaan)
dapat ditegakkan?
C. BATASAN MASALAH
Agar
penjelasan masalah dari makalah yang telah di buat ini lebih jelas, terarah dan
tidak keluar dari pembahasan, maka penulis menganggap perlu memberikan sebuah
batsan-batasan masalah
pada pembahasan makalah,
yaitu : Pengertian masyarkat politik, bentuk partisipasi masyarakat dalam
menghadapi Pilkada, permasalahan dalam retorika politik kebohongan, serta
moralitas dan etika politik (kekuasaan) yang sesuai dan dapat ditegakkan.
D. MAKSUD
DAN TUJUAN
Adapun maksud dan tujuan dari
penulis, dibagi
menjadi dua tujuan yakni tujuan umum dan tujuan khusus. Sebagai berikut :
1.
Tujuan umum
Yakni untuk
menjadikan makalah ini sebagai kajian keilmuan yang bermanfaat bagi pembaca, dan untuk
menjelaskan bagaimana konsep
masyarakat dalam menghadapi Pilkada maupun rekayasa sosial, dapat mengkaji
persepektif masyarakat dari berbagai latar belakang, serta dapat memberikan
sumbangsih solusi terkait Pilkada.
2.
Tujuan khusus
Yakni untuk melengkapi salah satu persyaratan
mengikuti Intermediate training LK
II yang diselenggarakan oleh Himpunan Mahasiswa Islam cabang Banjar Baru. Dan sebagai bahan kajian di arena
Trainning baik didalam forum maupun diluar.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
PARTISIPASI
POLITIK DIKALANGAN MASYARAKAT DALAM PELAKSANAAN PILKADA
1.
Pengertian
Dan Definisi Partisipasi Politik
Partisipasi secara harafiah berarti
keikutsertaan, dalam konteks politik hal
ini mengacu pada
keikutsertaan warga dalam
berbagai proses politik. Partisipasi politik
adalah keterlibatan warga
negara dalam membuat keputusan, melaksanakan
keputusan, mempengaruhi proses
pengambilan keputusan,
mempengaruhi kebijakan pemerintah
termasuk yang berkaitan dengan keterlibatan
aktif maupun keterlibatan
pasif setiap individu
dalam hierarki sistem politik2. Partisipasi politik
merupakan aspek penting
dalam sebuah tatanan negara demokrasi.
Secara umum masyarakat
tradisional yang sifat kepemimpinan politiknya
lebih ditentukan oleh
segolongan elit penguasa, keterlibatan warga
negara dalam ikut
serta mempengaruhi pengambilan keputusan dan
mempengaruhi kehidupan bangsa
relatif sangat kecil. Modernisasi telah
menghasilkan partisipasi politik
yang meluas. Partisipasi politik itu
merupakan kegiatan yang
dilakukan warga negara
untuk terlibat dalam proses
pengambilan keputusan dengan
tujuan untuk mempengaruhi pengambilan keputusan yang
dilakukan pemerintah3. Konsep
partisipasi politik
(polytical participation) secara singkat biasanya dipahami
sebagai keikutsertaan warga
negara dalam proses-proses politik secara sukarela4.
Kata warga negara di sini merujuk pada individu atau mungkin kelompok-kelompok dalam
masyarakat yang bukan
orang-orang yang duduk dalam
lembaga-lembaga resmi seperti
parlemen, jaksa, atau hakim.
Kemudian keikutsertaan dalam
proses-proses politik pada
dasarnya adalah upaya memberikan
tanggapan, saran, atau
2.
Turwahyudin.wordpress.com/2008/04/16/partisipasi-politik,
1 Juli 2008 pkl. 16.30 WIB
3.
Sudijono Sastroatmodjo, Perilaku Politik, Semarang, IKIP Semarang Press, 1995, hal 67
4.
Pawito, Komunikasi
Politik: Media Massa dan Kampanye Pemilihan, Yogyakarta, 2009, hal. 222,(unpublished)
mengemukakan
aspirasiaspirasi atau tuntutan-tuntutan berkenaan
dengan penjatahan sumber
daya publik. Karena itu
partisipasi politik memiliki
karakter pokok bahwa keikutsertaannya didasarkan pada
prinsip sukarela bukan paksaan. Sebagai
definisi umum dapat
dikatakan bahwa partisipasi
politik adalah kegiatan seseorang atau kelompok orang untuk ikut serta
secara aktif dalam kehidupan politik, antara lain dengan jalan memilih pemimpin
negara, dan secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi kebijakan
pemerintah (public policy).
Kegiatan ini mencakup
tindakan seperti memberikan
suara dalam pemilihan umum,
menghadiri rapat umum,
mengadakan hubungan (contacting) atau lobbying dengan pejabat pemerintah atau anggota parlemen, menjadi
anggota partai atau salah satu gerakan sosial dengan direct actionnya, dan
sebagainya.
Hal
yang paling disoroti
adalah tindakan-tindakan yang
bertujuan untuk mempengaruhi keputusan-keputusan pemerintah,
sekalipun fokus utamanya lebih
luas tetapi abstrak,
yaitu usaha-usaha untuk
mempengaruhi alokasi nilai secara otoritatif untuk masyarakat (the authoritative allocation of values for
a society).
Di
negara-negara demokrasi, konsep
partisipasi politik bertolak
dari paham bahwa kedaulatan
ada di tangan
rakyat, yang dilaksanakan
melalui kegiatan bersama untuk
menetapkan tujuan-tujuan serta
masa depan masyarakat itu,
dan untuk menentukan
orang-orang yang akan
memegang kursi pimpinan. Jadi,
partisipasi politik merupakan
wujud dari penyelenggaraan
kekuasaan politik yang absah oleh rakyat. Dibawah ini
adalah bentuk-bentuk partisipasi
politik :
1.1) Konvensional
a)
Pemberian suara (voting)
b)
Diskusi politik
c)
Kegiatan kampanye
d)
Membentuk dan bergabung dalam kelompok kepentingan
e)
Komunikasi individual dengan pejabat politik dan
administratif
1.2) Non-Konvensional
a)
Pengajuan petisi
b)
Berdemonstrasi
c)
Konfrontasi
d)
Mogok
e)
Tindak
kekerasan politik terhadap
harta benda (perusakan, pengeboman, pembakaran)
f)
Tindakan
kekerasan politik terhadap
manusia (penculikan, pembunuhan)
g)
Perang gerilya dan revolusi
Partisipasi politik
erat kaitannya dengan
kesadaran politik, karena semakin sadar bahwa dirinya
diperintah, orang kemudian menuntut diberikan hak bersuara dalam
penyelenggaraan pemerintah. Perasaan kesadaran tersebut sering dijumpai
terutama dari orang yang berpendidikan, yang kehidupannya lebih baik,
dan orang-orang terkemuka.
Di negara-negara demokrasi umumnya dianggap
bahwa lebih banyak
partisipasi masyarakat, lebih
baik. Sebaliknya, tingkat partisipasi
yang rendah umumnya dianggap kurang baik, karena dapat ditafsirkan bahwa
banyak warga tidak
menaruh perhatian pada masalah kenegaraan.
2.
Pola Dan
Bentuk Partisipasi Politik
Piramida pola partisipasi dibedakan
menjadi dua. Piramida partisipasi I menurut Milbrath dan Goel, memperlihatkan
bahwa masyarakat dibagi dalam tiga
kategori: a. pemain
(gladiators), b.
penonton (spectators), c. apatis (apathetic)5.
Pemain (gladiators) yaitu orang yang sangat aktif dalam dunia politik, penonton (spectators)
termasuk populasi yang
aktif secara minimal, termasuk menggunakan hak pilihnya.
Sedangkan apatis yaitu orang yang tidak aktif sama sekali, termasuk tidak
menggunakan hak pilihnya. Dalam buku lain disebutkan yang
keempat adalah pengkritik,
yaitu orang-orang yang berpartisipasi dalam bentuk yang tidak
konvensional6.
5. Miriam Budiarjo, op. cithal. 372
6. Sudjono
Sastroatmodjo, Perilaku Politik,
Semarang, IKIP Semarang, 1995, hal 75
Piramida
partisipasi politik II,
menurut David F
Roth dan Frank
L. Wilson, melihat masyarakat
terbagi dalam empat
kategori: a. aktivis (activists), b.
partisipan (participants), c.
penonton (onlookers), d.
Apolitis (apoliticals)7.
Aktivis (Activists) terdiri atas pejabat publik atau calon pejabat
publik, fungsionaris partai
politik, pimpinan kelompok
kepentingan, the deviant (termasuk di dalamnya pembunuh dengan maksud
politik, pembajak, dan teroris). Partisipan
terdiri dari orang
yang bekerja untuk kampanye, anggota partai secara aktif,
partisipan aktif dalam kelompok kepentingan dan tindakan-tindakan yang
bersifat politis, serta
orang yang terlibat
dalam komunitas proyek. Sedangkan
penonton (onlookers)
adalah orang yang menghadiri reli-reli
politik, anggota dalam
kelompok kepentingan, pe-lobby, pemilih, orang-orang
yang terlibat dalam
diskusi politik, serta
pemerhati dalam pembangunan politik.
Abramson dan Hardwick membedakan
partisipasi politik menjadi dua jenis, yaitu konvensional dan tidak
konvensional8. Bentuk partisipasi politik konvensional dalam pemilihan umum
misalnya adalah memberikan suara dalam pemilu, ikut
ambil bagian dalam
kegiatan-kegiatan kampanye,
bergabung dalam kelompok kepentingan tertentu, melakukan lobi-lobi untuk
mencapai tujuan-tujuan tertentu,
serta menjadi kandidat. Bentuk partisipasi politik yang paling
lazim terjadi di
negara-negara demokratis yaitu memberikan suara
dalam pemilihan umum
baik di tingkat
nasional maupun daerah.
Dalam hal ini,
memberikan suara dalam
pemilihan umum berarti menyatakan dukungan
terhadap partai atau
kandidat tertentu dan
menolak partai atau kandidat lain yang sedang berkompetisi. Ketika
pilihan atau suara yang diberikan pada pemilihan sekarang berubah dari pilihan
pada pemilihan sebelumnya, berarti pemilih
memberikan dukungan terhadap sistem
yang sedang berlangsung, serta
menginginkan perubahaan secara
demokratis dan elegan.
Bentuk partisipasi politik
konvensional lain yang lebih aktif antara lain adalah ikut
ambil bagian dalam
kegiatan kampanye, bergabung dalam
tim sukses,
7. Miriam Budiarjo, op.cithal 372
8. Pawito, op.cithal.223
dan menyumbang dana, karena bentukpartisipasi politik
ini berperan lebih aktif dalam
memperjuangkan keinginan atau
tuntutan. Bentuk yang paling aktif adalah ikut berkompetisi
dengan menjadi kandidat,
karena keikutsertaannya dalam proses politik nyaris sempurna karena
kandidat harus mengeluarkan dana untuk
pencalonan dan kampanye,
harus terjun langsung dalam kegiatan-kegiatan kampanye
untuk mempengaruhi orang
lain agar memberikan
dukungan, melakukan lobi-lobi untuk
mencapai sasaran-sasaran tertentu,
termasuk melobi penyandang
dana serta kelompok-kelompok atau organisasi-organisasi tertentu.
Dalam arti
non-konvensional,
partisipasi politik mencakup
berbagai kegiatan yang cenderung
melibatkan banyak orang
dalam suatu bentuk kelompok massa
dan kadang disertai
dengan pelanggaran tertib
hukum dan kekerasan. Partisipasi
politik non-konvensional dapat
diterima secara luas apabila tidak disertai aksi pengrusakan
atau kekerasan, seperti misalnya aksi
protes dengan cara berpawai seraya membawa spanduk dan poster yang berisi
tentang berbagai tuntutan,
mengkoordinasikan aksi pemogokan
di kalangan buruh atau menuntut
kenaikan upah, perbaikan kondisi kerja, dan peningkatan jaminan sosial.
Sebagai suatu kegiatan, partisipasi
dibedakan menjadi partisipasi aktif dan
partisipasi pasif. Partisipasi
aktif mencakupi kegiatan
warga negara mengajukan usul
mengenai suatu kebijakan
umum, mengajukan alternative kebijakan umum
yang berbeda dengan
kebijakan pemerintah, mengajukan kritik dan saran perbaikan untuk
meluruskan kebijaksanaan, membayar pajak, dan ikutserta dalam kegiatan
pemilihan pimpinan pemerintah. Di pihak lain partisipasi pasif antara lain
berupa kegiatan mentaati peraturan, menerima dan melaksanakan keputusan
pemerintah. Dengan demikian
dapat dinyatakan bahwa orientasi
partisipasi aktif terletak pada
masukan dan keluaran
politik, sedangkan partisipasi pasif hanya terletak pada keluaran
politiknya saja. Hal itu disadari bahwa dalam bentuk dan pola-pola
partisipasi politik terdapat
banyak hal yang
mempengaruhi timbulnya
dorongan ke arah partisipasi
politik masyarakat. Sulit
untuk disimpulkan bahwa
masyarakat tertentu memiliki partisipasi yang tinggi atau rendah, sebab
tiap-tiap bentuk partisipasi itu memiliki latar belakang sebab dan
konsekuensikonsekuensi, serta arah pengembangan yang berbeda-beda. Barangkali
dalam kerangka umum saja
dapat ditarik pola
umum bahwa seseorang
memiliki tingkat partisipasi yang
lebih tinggi dari
orang lain. Hal
itu berdasarkan aktivitas dan
perilaku yang tampak yang dilakukan oleh orang tersebut. Dengan demikian
persoalan partisipasi tidak
saja persoalan tinggi rendahnya partisipasi, tetapi juga
menyangkut variabel-variabel lain
yang mempengaruhi seperti latar
belakang munculnya partisipasi
ke arah pembangunan, konsekuensi-konsekuensi,
dan pola partisipasi itu sendiri.
3.
Faktor-
Faktor Yang Mempengaruhi Partisipasi Politik
Partisipasi politik masyarakat
memiliki perbedaan dalam intensitas dan bentuknya. Hal
itu di samping
berkaitan dengan sistem
politik, juga berhubungan dengan
perubahan-perubahan sosial yang
terjadi dalam masyarakat. Menurut
Weimer, terdapat lima
hal yang dapat
mempengaruhi partsisipasi politik yang lebih luas9. Pertama adalah
modernisasi. Modernisasi di segala bidang
berimplikasi pada komersialisasi pertanian,
industrialisasi, meningkatnya arus urbanisasi, peningkatan kemampuan
baca tulis, perbaikan pendidikan, dan pengembangan media massa/media komunikasi
secara lebih luas. Kemajuan itu
berakibat pada partisipasi
warga kota baru
seperti kaum buruh, pedagang, dan
professional untuk ikut serta mempengaruhi kebijakan dan menuntut
keikutsertaannya dalam kekuasaan
politik sebagai bentuk kesadarannya bahwa mereka pun dapat
mempengaruhi nasibnya sendiri.Faktor kedua adalah terjadinya perubahan dalam
struktur kelas sosial. Perubahan
struktur kelas baru
itu sebagai akibat
dari terbentuknya kelas menengah dan pekerja baru yang makin
meluas dalamera industrialisasi dan modernisasi, sehingga
membawa perubahan dalam
pola partisipasi politik. Pengaruh kaum
intelektual dan meningkatnya
komunikasi massa merupakan faktor partisipasi
politik masyarakat. Ide-ide
baru seperti nasionalisme, liberalisme, dan
egaliterisme
9. Soedjono Sastroatmodjo, Op.cit , hal 89
membangkitkan
tuntutan-tuntutan untuk
berpartisipasi dalam pengambilan
keputusan. Komunikasi yang meluas mempermudah penyebaran ide-ide itu ke
seluruh lapisan masyarakat. Hal itu berimplikasi pada
tuntutan rakyat dalam
ikut serta mempengaruhi
kebijakan pemerintah. Faktor keempat adalah adanya konflik di
antara pemimpin-pemimpin politik.
Pemimpin politik yang bersaing memperebutkan kekuasaan seringkali
dilakukan dengan cara
mencari dukungan massa.
Implikasinya adalah
munculnya tuntutan terhadap
hak-hak rakyat, sehingga
pertentangan dan perjuangan kelas
menengah terhadap kaum
bangsawan yang memegang kekuasaan mengakibatkan
perluasan hak pilih
rakyat. Faktor kelima
adanya keterlibatan pemerintah yang semakin meluas dalam urusan sosial,
ekonomi, dan kebudayaan. Meluasnya ruang lingkup aktivitas pemerintah ini
seringkali merangsang tumbuhnya
tuntutan-tuntutan yang terorganisasi
untuk ikut serta dalam mempengaruhi pembuatan keputusan politik.
Surbakti menyebutkan
dua variabel penting
yang mempengaruhi tinggi-rendahnya
tingkat partisipasi politik seseorang, yakni kesadaran politik seseorang dan
kepercayaan politik terhadap pemerintah10. Aspek kesadaran politik seseorang meliputi
kesadaran terhadap hak dan kewajibannya sebagai warga negara baik hak-hak
politik, ekonomi, maupun hak mendapat jaminan sosial dan
hukum. Selain itu,
kewajibannya sebagai warga
negara dalam sistem politik
maupun kehidupan sosial
juga berpengaruh terhadap
tinggi rendahnya partisipasi politik.
B.
RETORIKA
POLITIK KEBOHONGAN MEMPENGARUHI PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PILKADA
Euforia retorika politik mulai dari
suatu pemilihan kepada daerah (pemilukada). Bahkan sikap dan perilaku yang
ditampilkan dan upaya memenuhi janji retorika politik yang disampaikan menjadi
aikon, meskipun sangatlah paradox pasca pemilu, dengan memunculkan satu
pemenang11. Ini menunjukkan bahwa penentuan seorang pemimpin begitu
sangat penting dan memiliki nilai-nilai yang
10.
Soedjono Sastroatmodjo, Op.cit, hal 91
sangat agung (sakral) diberbagai aktivitas kehidupan,
termasuk di dalam mengatur keberlangsungan penyelenggaraan pemerintah dan
menjalankan amanah. Selain itu membangun suatu nilai-nilai perwujudan
kesejahteraan masyarakat yang telah dijanjikannya. Nilai dasar pijakan untuk
meraih sesuatu itu harus benar dan nyata.
Kesucian dasar hakekat ruh atau jiwa yang tertanam
ketika retorika politik dijalankan dan terpilih menjadi pemenang, para calon
pengayom masyarakat inilah,
Pengejawantahan untuk memberikan aktualisasi makna
janji dalam kehidupan yang sangat hakiki, menjadi begitu penting dan pondasi yang sakral, bukan
sebuah komoplase kemenangan semata, Karena nilai-nilai sikap dan perilau yang
terkandung dalam janji-janji dirinya, ketika itu akan mendapatkan konsekuensi
tuntutan dari masyarakat dalam melakukan hubungan antara sesama manusia maupun
dengan sang pencipta mahkluk serta alam sekitarnya. Sebagai bukti bentuk untuk
memunculkan khasanah kemaslahatan dan kemadhorotan dari pada dinamika
masyarakat secara berkesinambungan.
Dengan kebohongan terkomitmenkan
dalam janji-janji retorika politik, gagasan dan harapan bersama tersebut, dalam
suatu wujud rangkaian kata pada sebuah visi, misi, strategi, program, dan
kegiatan serta penetapan atau penempatan standar kualifikasi personal yang
tersedia atau disediakan terbangun secara nyata. Hal itu merupan bukti suatu
yang bukan siasah, melainkan kebohongan terkonseptualisasikan. Kini
penjustifikasian akan jani-jani retorika politik yang mengarah pada kebohongan
menjadikan suatu alat untuk bersikap dan
berprilaku tindak kita dalam membangun keberlangsungan penyelenggaraan
pemerintah yang bernuasa kolobonisme, dan juga benar-benar dipedomani dalam
mengedepankan kesinambungan tahapan pensejahteraan masyarakat secara
sistematik. Selintas hal janji-janji itu, semua dianggap dan dianalogikan
sangat kecil memberikan dampak atau efek akan pada tatanan kehidupan pribadi
dan dalam tatanan penyelenggaraan pemerintahan sebagai wahana mekanisme
pengaturan keberlangsungan masyarakat. Jika ditelaah dan dikaji lebih mendalam
teryata analogi itu salah dan memberikan bukti bahwa kegaglan dan kehancuran
serta kebobrokan dari pada kemunculan berbagai fenomena yang kita hadapi saat
ini, diakibatkan oleh adanya hal tersebut.
Meski sistem pemilu sudah lebih maju
ketimbang yang lalu, namun yang akan mengendalikan dan mempengaruhi perilaku
pemilih masih tetap para elite politik dan tokoh-tokoh agama dengan cara
mobilisasi massa dan mungkin manipulasi dengan menggunakan kekuatan uang,
sentimen etnis, dan agama12.
1.
Politik Uang
(Money Politik)
Praktik money politic dalam Pemilu
dapat dilihat dari pandangan teori pilihan rasional. Salah satu
tokoh teori pilihan
rasional yang terkenal
adalah James S.
Coleman. Coleman mengangap bahwa
setiap tindakan yang dilakukan oleh
seseorang dipengaruhi oleh tujuan dan nilai
yang diinginkan oleh
mereka. Selanjutnya menurut Coleman
dalam teori pilihan
rasional ada dua unsur yang terlibat yakni aktor dan sumber daya. Uang menjadi
salah satu motivasi bagi seseroang untuk berpartisiapsi dalam politik. Dalam
Pemilukada sendiri yang dinamakan aktor adalah masyarakat dan para calon kepala
daerah. Sedangkan sumber daya yang dimaksud adalah uang dan jabatan politik.
Coleman menjelaskan adanya interaksi antara aktor dan sumber daya. Masing-masing
aktor dapat mengendalikan sumber daya. Baik masyarakat maupun calon kepala daerah
dapat mengendalikan jabatan politik. Masyarakat memiliki hak untuk menentukan
siapa calon yang akan
terpilih. Sedangkan kepala
daerah juga memiliki
kemampuan untuk memengaruhi
pilihan masyarakat. Disinilah kemudian kedua aktor tersebut saling memengaruhi dan
membutuhkan untuk mecapai tujuan masing-masing.
Masyarakat dan
para calon kepala
daerah sama-sama memiliki
kepentingan terhadap sumber daya
yakni uang dan
jabatan politik keduanya
sehingga dapat saling
memengaruhi. Calon kepala daearah memberikan penawaran yang memberikan
keuntungan kepada masyarakat. Disisi
lain masyarakat memberikan
penawaran berupa dukungan
suara untuk memenangkan pasangan calon. Masyarakat dan
calon kepala daerah akhirnya terlibat sebuah hubungan untuk
12.
Komaruddin Hidayat, “Pergulatan Partai Poliik Di Indonesia”, Jakarta: 24
memenuhi
kepentingannya
masing-masing. Sehingga praktik politik
uangpun tidak dapat terhindarkan. Hak
pilih menjadi sesuatu
yang bisa ditukar
dengan rupiah. Dengan
adanya transaksi tersebut maka kedua aktor ini akan sama-sama
mendapatkan sumber daya yang mereka inginkan. Dimana pemilih dalam hal ini akan
mendapatkan uang sedangkan calon kepala daerah akan mendapatkan jabatan politik
yakni berupa kemenangan dalam Pemilukada.
Menurut pengamat
politik di lingkungan
Kabupaten Magetan Bambang
Sulistiyono selaku Ketua Jurusan Administrasi Negara FISIP Universitas
Merdeka Madiun menyatakan: Money politic
sangat luar biasa
terjadi dalam Pemilukada. Masyarakat
tidak mau berpartisiapsi kalau
tidak ada uang.
Dalam Pemilukada partisipasi
masyarakat terbeli. Ketika ada
uang ditawarkan maka
selesai sudah. Setiap
tim sukses turun
ke lapangan untuk membagi-bagi
uang dengan banyak modus13.
Permainan antar
aktor dan sumber
daya dalam praktik
money politik dalam
Pemilukada sedikitnya diperlihatkan dalam dua hal, yaitu: Pertama,
Membagi amplop. Kedua, memberikan sumbangan bahan material.
Secara umum money
politic biasa diartikan sebagai upaya untuk mempengaruhi perilaku orang dengan
menggunakan imbalan tertentu. Ada yang mengartikan money politic sebagai
tinadakan jual beli suara pada sebuah proses politik dan kekuasaan14.Secara umum money politic biasa diartikan sebagai
upaya untuk mempengaruhi perilaku orang dengan menggunakan imbalan tertentu.
Ada yang mengartikan money politic
sebagai tindakan jual beli suara pada sebuah proses politik dan kekuasaan. Di
dalam pemilihan umuum atau PEMILU ada beberapa praktik tindakan money politic
misalnya;
a.
Distribusi sumbangan, baik berupa barang atau uang
kepada para kader partai, penggembira, golongan atau kelompok tertentu,
Didalam Undang-Undang nomor 30 tahun 2003 mengenai masalah dana kampanye
telah ditentukan maslah dana kampanye pada pasal 43 antara lain;
13. Wawancara dengan Bambang Sulistiyono
pada 29 November, 2013
14. Riswandha Imawan, “Menjadi Pemilih Yang Baik Dalam Pemilu
2004”, Yogyakarta: 64-69
·
Dana kampanye dapat diperoleh dari
pasangan calon, partai politik yang mencalonkan, sumbangan pihak lain yang
tidak mengikat dan meliputi sumbangan perseorangan atau badan hukum swasta
·
Pasangan calon wajib memiliki rekening
khusus dana kampanye.
·
Sumbangan dana kampanye dari perseorangn
tidak boleh lebih dari Rp 100.000.000,- dan dari badan swasta tidak boleh lebih
dari Rp 750.000.000,-
b.
Pemberian sumbangan dari konglomerat atau pengusaha bagi
kepentingan partai politik tertentu, dengan konsesi-konsesi yang ilegal,
c.
Penyalahgunaan wewenang dan fasilitas negara untuk
kepentingan dan atau mengundang simpati bagi partai poltik tertentu[1].
Ada beberapa macam-macam bentuk
pemberian uang dari kandidat kepada anggota dewan yang terlibat dengan politik
uang (Money Politics). Macam-macam itu adalah sebagai berikut:
- Sistem ijon.
- Melalui tim sukses calon.
- Melalui orang terdekat.
- Pemberian langsung oleh kandidat.
- Dalam bentuk cheque.
Akan tetapi tidak banyak juga Money
Politics ini yang tidak berhasil pada akhirnya dalam masalah pembelian
suara pemilih maupun dari anggota dewan (DPRD). Ada bebarapa faktor yang
membuat hal ini terjadi, yaitu:
- Adanya hubungan keluarga dan persahabatan.
- Bakal calon bersikap ragu-ragu.
- Adanya anggota yang terlanjur mempunyai komitmen tersendiri.
- Adanya anggota yang dianggap opportunis.
2.
Kampanye
Hitam
Kampanye hitam adalah terjemahan
dari bahasa Inggris black campaign yang
bermakna berkampanye dengan cara buruk atau jahat. Buruk atau jahat dalam
pengertian merugikan orang lain atau lawan politik atau partai politik (parpol)
lain, sedangkan si pelaku kampanye hitam itu berharap dirinya atau partainya
mendapatkan keuntungan15. Ibarat peribahasa : mengeruhkan air, berharap ikan muncul.
Kampanye hitam (black campaign)
telah menjadi senjata pemusnah para tim sukses dan konsultan politik. Menjelang
masa akhir kampanye Pemilihan Presiden, senjata pemusnah itu makin sering
ditembakkan dengan tujuan mengalahkan lawan dan mempengaruhi pemilih di bilik
suara16.
Secara umum bentuk kampanye hitam
adalah menyebarkan keburukan atau kejelekan seorang politikus dengan tujuan :
1. Menjatuhkan
nama baik seorang politikus sehingga dia menjadi tidak disenangi teman-teman
separtainya, khalayak pendukungnya dan masyarakat umum. Apabila
teman-teman separtai tidak menyenanginya, maka bisa berakibat yang bersangkutan
dikeluarkan dari partainya dan ini berarti karir politiknya di partai tersebut
hancur. Bahkan mungkin sulit untuk diterima di partai yang
lain. Apabila khalayak pendukung atau masyarakat luas tidak menyenanginya,
maka diharapkan yang bersangkutan gagal terpilih dalam sebuah pencalonan.
2. Menjatuhkan
nama baik seorang politikus dengan tujuan menjatuhkan nama baik parpol tempat
si politikus yang berkarir, yang berefek kepada politikus-politikus lain di
parpol tersebut atau bahkan sekaligus menggagalkan calon presiden yang didukung
parpol tersebut (efek domino).
Cara-cara yang dipakai dalam berkampanye hitam adalah
:
1. Menyebarkan
kejelekan atau keburukan tentang seseorang politikus, dengan cara memunculkan
cerita buruk di masa lalunya, menyebarkan cerita yang berhubungan dengan kasus
hukum yang sedang berlangsung, atau menyebarkan cerita bohong atau fitnah
lainnya.
15.
Prof. DR. H. Anwar Arifin, “Komunikasi politik dan pers pancasila”, Jakarta: 75
16.
Prof. Dr. Miftah Thoha, MPA, “Birokrasi Politik Diindonesia”, Jakarta: 104
2. Untuk
menguatkan cerita tersebut biasanya si penyebar cerita akan menyertakan berupa
bukti foto. Foto-foto tersebut bisa saja benar-benar terjadi, bisa juga
benar-benar terjadi tapi tidak terkait langsung dengan permasalahan, namun si
penyebar foto berharap asumsi masyarakat terbentuk atau bisa juga foto tersebut
hasil rekayasa / manifulasi dengan bantuan teknologi komputer.Yang lebih hebat
lagi adalah apabila dimunculkan saksi hidup yang bercerita perihal keburukan,
atau pekerjaan jahat si politikus, baik di masa lalu maupun yang masih belum
lama terjadi.
Kampanye hitam bukanlah sebuah
pilihan dalam berpolitik. Selain mengandung unsur jahat dan melanggar
norma, baik masyarakat atau pun agama, kampanye hitam juga memberikan
pendidikan politik yang jelek bagi masyarakat17. Upaya
Menghalalkan segala cara yang melandasi dipilihnya bentuk kampanye hitam
menunjukkan masih buruknya moral dan keimanan seorang politikus yang melakukan
hal tersebut. Eforia demokrasi di era reformasi ini tidaklah lantas merubah
politikus-politikus kita sebagai setan-setan politik dan dunia politik sebagai
sarangnya penjahat.
Boleh meniru demokrasi dan dunia
politik di negara lain, tapi hendaknya dengan bijaksana dan arif. Pilih
yang baik-baiknya saja yang sesuai dengan kepribadian bangsa dan tinggalkan
yang buruk dan merusak.
Peningkatan kualitas pemilu dapat
juga kita lihat dari jawaban apakah pada kampanye parpol menawarkan
program-program mereka. Bunyi pasal 1 butir 11 UU pemilu sebenarnya sangat
manju, karena dalam kampanye meyakinkan para pemilih itu adalah dengan
program-program. Jika dikaji lebih mendalam barangkali maksud utama dari
klausul ini adalah agar kampanye itu tidak memperbodoh rakyat dengan
macam-macam acara saja. Seperti yang terjadi pada pemilu pemilu sebelumnya, banyak
kontestan pemilu yang hanya membuai rakyat banyak dengan jargon dan janji,
hiburan maupun materi. Kualitas kampanye, menurut penulis, juga ditandai oleh
tidak banyaknya janji-janji yang menipu rakyat, mengingat belum ada mekanisme
ampuh untuk menagih janji-janji pasca pemilu serta. Yang justru
17.
Prof. Dr Soerjono Soekanto, S.H., MA, “Dispilin Hukum Dan Disiplin Sosial”,
Jakarta: 108
berkualitas adalah jika dalam kampanye, para calon itu
memaparkan komitmen dan visi mereka dalam menuntaskan berbagai soal. Dan hal
penting lainnya yang dapat mningkatkan kualitas kampanye para peserta pemilu
mampu menjawab problem-problem besar bangsa ini yang mesti diselesaikan,
seperti soal korupsi, pendidikan, tenaga kerja, lingkungan dan sebagainya.
MORALITAS
DAN ETIKA POLITIK (KEKUASAAN)
Secara substantif pengertian etika politik tidak dapat
dipisahkan dengan subjek sebagai pelaku etika, yakni manusia. Oleh karena itu
etika politik berkaitan erat dengan bidang pembahasan moral. Hal ini
berdasarkan kenyataan bahwa pengertian “moral” senantiasa menunjuk kepada
manusia sebagai subjek etika. Dapat disimpulkan bahwa dalam hubungannya dengan
masyarakat bangsa maupun negara, etika politik tetap meletakkan dasar
fundamental manusia sebagai manusia. Dasar ini lebih meneguhkan akar etika
politik bahwa kebaikan senantiasa didasarkan kepada hakikat manusia sebagai
makhluk beradab dan berbudaya.
Berdasarkan suatu kenyataan bahwa masyarakat, bangsa,
maupun negara bisa berkembang ke arah keadaan yang tidak baik dalam arti moral.
Misalnya suatu negara yang dikuasai oleh penguasa atau rezim yang otoriter.
Dalam suatu masyarakat negara yang demikian ini maka seseorang yang baik secara
moral kemanusiaan akan dipandang tidak baik menurut negara serta masyarakat
negara18. Oleh karena itu aktualisasi etika politik harus senantiasa
mendasarkan kepada ukuran harkat dan martabat manusia sebagai manusia.
Sebagai dasar filsafat Negara Pancasila tidak hanya
merupakan sumber derivasi peraturan perundang-undangan, melainkan juga
merupakan sumber moralitas terutama dalam hubungannya dengan legtimasi
kekuasaan, hukum serta berbagai macam kebijakan dalam pelaksanaan dan
penyelenggearaan Negara. Sila pertama ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’ serta sila
kedua ‘Kemanusiaan yang Adil dan Beradab’ merupakan sumber nilai-nilai moral
bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Negara Indonesia berdasarkan sila
pertama bukanlah Negara yang ‘Teokrasi’ yang mendasarkan kekuasaan Negara pada
legitimasi religious,
18.
Drs. Inu Kencana Syafi’ie, M.Si, “Kepemimpinan Kepemerintahan Indonesia”, Jakarta: 101
melainkan berdasarkan legitimasi hukum serta
legitimasi demokrasi. Oleh karena itu asas sila pertama lebih berkaitan dengan
legitimasi moral. Hal ini lah yang membedakan Negara Berketuhanan Yang Maha Esa
dengan Negara Teokrasi. Walaupun dalam Negara Indonesia tidak mendasarkan pada
legitimasi religious, namun secara moralitas kehidupan Negara harus sesuai
dengan nilai-nilai yang berasal dari Tuhan terutama hukum serta moral dalam
kehidupan Negara.
Selain sila pertama, sila kedua juga merupakan sumber
nilai-nilai moralitas dalam kehidupan Negara. Negara pada prinsipnya adalah
merupakan persekutuan hidup manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa. Bangsa
Indonesia sebagai bagian dari umat manusia di dunia hidup secara bersama dalam
suatu wilayah tertentu, dengan suatu cita-cita dan prinsip-prinsip hidup demi
kesejahteraan bersama (Sila Ketiga). Oleh karena itu manusia pada hakikatnya
merupakan asas yang bersifat fundamental dalam kehidupan Negara. Manusia adalah
merupakan dasar kehidupan serta pelaksanaan dan penyelenggaraan Negara. Oleh
karena itu asas-asas kemanusiaan adalah bersifat mutlak dalam kehidupan Negara
dan hukum. Selain itu asas manusia juga harus merupakan prinsip dasar moralitas
dalam pelaksanaan dan penyelenggaraan Negara.
Selain itu dalam pelaksanaan dan penyelenggaraan
Negara harus berdasarkan legtimasi hukum yaitu prinsip ‘legalitas’. Negara
Indonesia adalah Negara hukum oleh karena itu keadilan dalam hidup bersama
(keadilan sosial) sebagai mana terkandung dalam sila kelima, adalah merupakan
tujuan dari kehidupan Negara. Oleh karena itu segala kebijakan, kekuasaan,
kewenangan serta pembagian senantiasa harus berdasarkan atas hukum yang
berlaku. Pelanggaran atas prinsip-prinsip dalam kehidupan kenegaraan akan menimbulkan
ketidakseimbangan dalam kehidupan Negara.
Negara adalah berasal dari rakyat dan segala kebijakan
dan kekuasaan yang dilakukan senantiasa untuk rakyat (sila keempat). Oleh
karena itu rakyat merupakan asal mula kekuasaan Negara. Maka dalam pelaksanaan
politik praktis hal-hal yang menyangkut kekuasaan eksekutif, legislatif serta
yudikatif konsep pengambilan keputusan, pengawasan serta partisipasi harus
berdasarkan legitimasi dari rakyat, atau dengan kata lain harus memiliki
‘legitimasi demokrasi’.
Prinsip-prinsip dasar etika politik itu dalam
realisasi praksis dalam kehidupan kenegaraan senantiasa dilaksanakan secara
korelatif diantara ketiganya. Kebijaksanaan serta keputusan yang diambil dalam
pelaksanaan kenegaraan baik menyangkut politik dalam negeri maupun luar negeri,
ekonomi baik nasional maupun global, yang menyangkut rakyat dan lainnya selain
berdasarkan hukum yang berlaku (legitimasi hukum), harus mendapat legitimasi
rakyat (legitimasi demokrasi) dan juga harus berdasarkan prinsip-prinsip
moralitas (legitimasi moral).
Etika politik ini juga harus direalisasikan oleh
setiap individu yang terlibat secara kongkrit dalam pelaksanaan pemerintah
Negara. Para pejabat eksekutif, anggota legislatif, maupun yudikatif, para
pejabat Negara baik DPR maupun MPR aparat pelaksana dan penegak hukum harus
menyadari bahwa selain legitimasi hukum dan legitimasi demokrasi juga harus
berdasar pada legitimasi moral. Misalnya suatu kebijakan itu sesuai dengan
hukum belum tentu seuai dengan moral, contohnya gaji para pejabat Negara sesuai
dengan hukum tetapi bila dilihat dari keadaan Negara maka hal tersebut tidak
sesuai secara moral.
Inti permasalahan etika politik adalah masalah
Legitimasi etis kekuasaan yang dapat di rumuskan dalam pertanyaan: atas hak
moral apa seseorang atau sekelompok orang memegang dan mempergunakan kekuasaan
yang mereka miliki? betapapun besarnya
kekuasaan, selalu dituntut pertanggung jawaban. Karena itu, etika politik
menuntut agar kekuasaan dilaksanakan sesuai dengan hukum yang berlaku
(Legalitas), disahkan secara demokratis (Legitimasi Demokratis) dan tidak
bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar moral (Legitimasi Moral). Ketiga
tuntutan itu dapat disebut Legitimasi normatif atau etis (Magnis-suseno:1987).
Selanjutnya dijelaskan kriteria-kriteria legitimasi yaitu legitimasi
sosiologis, legalitas, dan legitimasi etis sebagai berikut :Legitimasi
Sosiologis, Paham sosiologis tentang legitimasi.
Mempertanyakan motivasi apakah yang nyata-nyata
membuat masyarakat mau menerima kekuasaan atau wewenag seseorang, sekelompok
orang atau penguasa19.
Pidato hari alumni di Universitas Indonesia di Jakarta
19 Juni 1957. Bung Hatta juga menguraikan banyak hal tentang
kondisi kepemimpinan dan perpolitikan saat itu sebagai contoh dan pesan moral.
Bung Hatta berpendapat bahwa pemimpin yang berpengetahuanlah yang terasa kurang
dalam Negara dan masyarakat kala itu. Sehingga juga tidak jauh berbeda dengan
sekarang, kita melihat pemimpin-pemimpin kita masih banyak yang ribut-ribut
soal tanding-bertanding. Kekisruhan dan kesemprawutan pada elit politik dan
pemimpin kita tidak henti-hentinya dipertontonkan, atau bisa jadi malah kita
juga bagian dari yang membuat kekisruhan dan kesemprawutan itu sendiri. Sekali
lagi ini merupakan wajah sekaligus realita yang kita hadapi dalam bebangsa dan
bernegara, agar kita sebagai kaum inteligensia sadar betul akan tantangan yang
begitu besar yang harus kita hadapi dengan penuh tanggungjawab20.
19.
Dr. Muhadjir
Darwin, “Penaklukan negara atas rakyat”,
yogyakarta: 195
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Melihat
kontribusi masyarakat bebeda dari tiap-tiap latar belakang dan kesadaraan dan
kebutuhan berpolitiknya terpengaruh secara geografis. Bahkan masyarakat dari
kalangan bawah hingga menengah, menghadapi begitu banyak retorika politik
kebohongan yang ada. Dari kenyataan yang ada masyarakat kalangan bawah yang
cendrung menerima suguhan yang lebih menjanjikan untuknya tanpa memikirkan masa
depan bangsa kedepannya. Karena itu, kesadaran masyarakat untuk berpartisipasi secara
positif dalam sistem politik yang ada, jika seseorang tersebut merasa dirinya
sesuai dengan suasana lingkungan dimana dia berada. Apabila kondisi yang
terjadi adalah sebaliknya, maka akan lahir sikap dan tingkah laku politik yang
tampak janggal atau negatif, misalnya jika seseorang sudah terbiasa berada
dalam lingkungan berpolitik yang demokratis, tetapi dia ditempatkan dalam
sebuah lingkungan masyarakat yang feodal atau tidak demokratis maka dia akan
mengalami kesulitan dalam proses beradaptasi. Meningkatnya keterlibatan
masyarakat dalam penyelenggaraan Pemilihan Umum (Pemilu), menunjukan semakin
kuatnya tatanan demokrasi dalam sebuah negara. Demokrasi menghendaki adanya
keterlibatan rakyat dalam setiap penyelenggaraan yang dilakukan negara.
Jika Money Politics dan Black campign terus terjadi, dapat dipastikan bahwa dunia politik
akan menjadi semakin rusak. Demokrasi prosedural hanya akan menjadi lahan bagi
kaum medioker, yaitu mereka yang tidak memiliki prestasi memadai, untuk meraih
kekuasaan. Bahkan sangat mungkin demokrasi prosedural akan dimanfaatkan oleh
mereka yang memiliki hasrat tak terbendung dan kerakusan untuk menguasai harta
kekayaan negara. Karena itu, segala macam cara kemudian mereka lakukan untuk
memperoleh kekuasaan. Dan kekuasaan itu nantinya akan digunakan untuk
mengembalikan uang yang telah digunakan untuk memperoleh kekuasaan itu. Bahkan
ia akan digunakan untuk mendapatkan kekayaan dengan jumlah yang berlipat-lipat.
Karena itulah, praktik-praktik ini harus dianggap sebagi kejahatan besar dalam
politik yang harus dilawan dan dienyahkan secara bersama-sama.
Namun demikian, tidak semua orang berpartisipasi dalam
kegiatan politik. Ada anggota masyarakat yang engan berhubungan dengan kegiatan
politik dengan cara menarik diri atau tidak terlibat sama sekali dalam kegiatan
politik. Keengganan tersebut dapat dipengaruhi barbagai faktor seperti :
kekecewaan dalam sistem politik, ketidaktahuan informasi, atau tiadanya pilihan
politik yang sesuai dengan keinginan seseorang.
B.
SARAN
Untuk menjamin pemilihan umum yang bebas dan adil
diperlukan perlindungan bagi para pemilih, para pihak yang mengikuti pemilu,
maupun bagi rakyat umumnya dari segala intimidasi, penyuapan, penipuan
danpraktik-praktik curang lainnya. Jika pemilihan dimenangkan melalui cara-cara
curang, dapat diragukan menjadi pemimpin yang terpilih di perlemen menjadi
wakil rakyat. Guna melindungi kemurnian pemilihan umum yang sangat penting bagi
demokrasi itulah para pembuat UU telah menjadikan sejumlah perbuatan curang
dalam pemilihan umum sebagai suatu tindak pidana. Demikian UU tentang pemilu di
samping mengatur tentang bagaimana pemilu dilaksanakan juga melarang sejumlah
perbuatan yang dapat menghancurkan hakikat free
and fair election itu serta mengancam pelakunya dengan hukuman.
Dalam hal ini yaitu dengan adanya sistem yang bernama
politik uang (money politics) maupun Kampanye Hitam yang memberikan
gambaran buruk bagi kesejahteraan demokrasi di indonesia ini. Dan juga bagi
masyarakat umum sepatutnyalah untuk lebih cerdas dalam menanggapi semua
iming-iming dan janji-janji yang diberikan oleh para calon kandidat pilkada
dalam kampanye-nya.
Karena rakyat bukan komoditas yang diperjual belikan
oleh calon pemimpin. Dengan memberikan edukasi dan bentuk penyadaran kepada
masyarakat sekitar agar masyarakat indonesia dapat menjadi pemilih cerdas.
Didiklah rakyat dengan sekolah dan organisasi, maka didiklah penguasa dengan
perlawanan.
DAFTAR
PUSTAKA
Hidayat
Komaruddin, 2004, “Pergulatan Partai
Poliik Di Indonesia”, Jakarta, Pt
Raja Grafindo Persada
Imawan
Riswandha, 2003, “Menjadi Pemilih Yang
Baik Dalam Pemilu 2004”, ,Yogyakarta,Cet 1 Oktober 2003, Cet K2 November
2003 Cv Jogja Global Media
Prof.Dr. H.
Arifin Anwar, 1992, “Komunikasi Politik
Dan Pers Pamcasila”, Jakarta, Media Sejahtera
Prof. Dr.
Thoha Miftah, MPA, 2005, “Birokrasi
Politik Diindonesia”, Jakarta, Pt
Raja Grafindo Persada.
Prof. Dr
Soekanto Soerjono, S.H.,Ma, 1996, “Dispilin
Hukum Dan Disiplin Sosial”, Jakarta, Pt Raja Grafindo Persada.
Drs. Syafi”I
Inu Kencana, M.Si, 2003, “Kepemimpinan Kepemerintahan Indonesia”, Jakarta, Pt Refika Aditama.
Dr. Darwin
Muhadjir, 1999, “Penaklukan Negara Atas
Rakyat”, Yogyakarta, Gadjah Mada University Press
Santoso Topo, Supriyanto Didik,
2004, “Mengawasi Pemilu Mengawal
Demokrasi” Jakarta, Pt Raja Grafindo Persada.
Komentar
Posting Komentar
Silahkan Tinggalkan saran & kritik anda :)