Identitas Gender Mempengaruhi Perempuan Dalam Sosio Kultural
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
KONDISI PEREMPUAN DALAM KULTUR
1.
Identitas gender
Identitas adalah kontruksi sosial-baik dalam kategori
personal maupun sosial yang tidak akan eksis di luar representasi budaya dan
akulturasi. Identitas dapat dikenali melalui bahasa tentang diri atau kelompok
yang penuh isian emosional, sekaligus dibentuk oleh bahasa dan praktek budaya
yang berkarakter sosial sehari-hari, pembentukan identitas sepenuhnya proses
kultur karena terbangun melalui akulturasi dan tidak pernah tunggal.(Barker,
2000).
Bangkitnya kesadaran perempuan atas
berbagai kesenjangan akibat dominasi ideologi yang tidak adil dimana (serba
laki-laki) dalam masyarakat, bahkan dunia kerja sekalipun. Kenyataan ini
melahirkan sebuah anggapan yang diyakini suatu ideologi yang berusaha
menjelaskan dan mencari strategi untuk mengubah hubungan asimetris dalam
masyarakat menjadi hubungan lebih equal, adil, terbuka dan demokratis.
Dahulu, orang tidak mempersoalkan mengenai pembagian
peran dan pekerjaan berdasarkan jenis kelamin (seks), akan tetapi saat ini
pembagian peran dan pekerjaan “harus” berdasarkan gender, sebab jika tidak
demikian, maka akan menyebabkan kesenjangan dan ketidak-adilan (gender inequality).
Sejak dekade 80-an intelektual mulai membedakan
istilah untuk menunjukan identitas perempuan dan laki-laki, dengan istilah seks
(sex) dan gender (gender), karena persepsi yang berkembang di masyarakat bahwa
perbedaan gender (gender differences)
sering dikaitkan dengan perbedaan seks (seksdifferences).
Menurut Echol dan Shadily (1983:421), “seks adalah
jenis kelamin, yaitu ciri kelamin perempuan atau laki-laki dari segi anatomi
biologi seseorang, yang mencakup perbedaan komposisi hormon, pola genetik,
struktur genital, anatomi fisik, anatomi reproduks, dan karakteristik biologis
lainnya. Berdasarkan ciri tersebut maka seseorang karena “penis”nya, disebut
laki-laki, dan karena vaginanyadisebut sebagai perempuan di mana pun dan kapan
pun ia berada. Laki-laki pun terkenal dengan “Penny” dan untuk perempuan
“Peggy”.
Dalam fenomena masyarakat, sudah sejak dini begitu
anak lahir degan jenis kelamin tertentu, masyarakat mulai mengkontruksikan
sifat-sifat “kepantasan/kepatutan” untuk anak perempuan dan laki-laki sesuai
dengan budaya yang berlaku di tempat tersebut. Berdasarkan ciri-ciri biologis,
seseorrang akan didefinisikan sebagai perempuan atau laki-laki, yang kemudian
masyarakat biasa memperlakukan anak perempuan dan anak laki-laki secara
berbeda. Misalnya anak laki-laki diberikan mainan pistol mainan dan anak
perempuan diberi boneka. Atribut ini juga senantiasa digunakan untuk menentukan
hubungan relasi gender, seperti pembagian fungsi, peran dan status dalam
masyarakat.
Makna “gender” adalah sifat-sifat yang diletakan
kepada perempuan dan laki-laki oleh masyarakat. Oleh karena sifat tersebut
bukan merupakan bawaan heriditas dari jenis perempuan dan laki-laki, melainkan
sifat yang diletakkan oleh masyarakat yang beragam budaya, maka sifat-sifat
yang diletakkan dalam satu budaya dengan budaya lain, di satu tempat dengan
tempat yang lain, maupun dari waktu ke waktu. Masyarakat pun memiliki andil
dalam melekatkan sifat tersebut untuk perempuan maupun laki-laki. (Faqih,
1999;8). Saparinah Sadli (1995;79) memberi pengertian “gender” merupakan
sejumlah karakteristik psikologis untuk perempuan atau laki-laki yang
ditentukan secara sosial.
Adapun identitas gender adalah pola perilaku sebagai
identitas psikologis yang ditentukan oleh masyarakat untuk perempuan dan
laki-laki.(Sadli, 1995;71).
Dari segi tinjuan psikologi, identitas merupakan
proses subjektif seseorang tentang keberadaan dirinya sebagai perempuan dan
laki-laki. Artinya gambaran tentang “siapa saya” yang mulai disadari oleh anak
sekitar usia dua tahun. Akan tetapi berhubung anak sejak kecil sudah berada
dalam masyarakat yang membentuk kepribadiannya, maka identitas dirinya sebagai
perempuan maupun laki-laki, mereka peroleh dengan cara menginternalisasi norma
di masyarakat di mana mereka berada, dan dengan sengaja disosialisasikan oelh
orangtua sesuai dengan budayanya yang berkembang di tempat tinggalnya dan
warisan nenek moyangnya. Identitas yang diperoleh oleh anak sering bias gender.
Gender
dalam konteks sosial
budaya menggambarkan peran,
fungsi serta perilaku
laki-laki dan perempuan dalam suatu masyarakat. Konsep ini
muncul didasarkan pada konteks sex atau perbedaan jenis kelamin laki-laki dan perempuan
dimana yang diikat
oleh budaya dimana
ia dilahirkan dan dibesarkan. Dengan
demikian, pelabelan perempuan
dan laki-laki berakar dalam
kebudayaan bukan hanya
aspek biologis saja.
Melalui proses sosialisasi yang
terbentuk mulai dari
keluarga, konsep tentang
perilku perempuan
(feminitas) dan perilaku
laki-laki (maskulinitas) yang
tepat, diserap sejak kecil. Mely
G. Tan, Kemitraan:
Wujud Kesetaraan dalam
Keluarga dalam Mendidik Manusia Merdeka.1
Dalam buku berjudul
Analisis Gender dan
Transformasi Sosial (Fakih:2008) untuk
memahami konsep gender,
maka perlu dibedakan
antara kata gender dan
seks (jenis kelamin).
Pengertian jenis kelamin
merupakan penyifatan atau pembagian
dua jenis kelamin
manusia yang ditentukan
secara biologis yang melekat
pada jenis kelamin
tertentu. Misalnya laki- laki mempunyai penis,
memproduksi sperma dan
memiliki jakun, sementara perempuan mengalami menstruasi,
memiliki alat reproduksi, bisa mengandung dan melahirkan serta
menyusui dan menopause.
Hal-hal biologis ini
tidak dapat dipertukarkan antara
laki- laki dan per empuan.
Kondisi ini merupakan ketentuan Tuhan (kodrat) yang tidak
mungkin diganggu gugat.
2. Kondisi
perempuan
Gender
adalah sifat-sifat yang dilekatkan masyarakat dalam suatu kultur untuk
perempuan dan laki-laki. Namun berhubung kultur dalam masyarakat itu mengalami
perubahan dan perkembangan, maka sifat-sifat yang dilekatkan oleh masyarakat
juga mengalami perubahan dan perkembangan. Misalnya, kultur masyarakat yang
berubah dari zaman batu, laki-laki lebih dominan dari pada perempuan karena
kekuatan fisik yang berbeda, kemudian pada zaman agraris,
1.
(Yogyakarta: Pustaka Sinar Harapan,
1995),286-287.
dimana perempuan tampak lebih mandiri, dan dizaman industri maju dengan
teknologi yang canggih saat ini lebih menghargai skill dari pada jenis kelamin,
yang menempatkan perempuan pada posisi yang setara dengan laki-laki. Singkatnya
struktur dan kondisi sosio-kultural akan mempengaruhi identitas gender.
Melihat kultur timur (Indonesia) umumnya, atau Jawa
khusunya, sifat-sifat lembut, sabar, rapih, senang melayani kebutuhan orang
lain,dianggap sifat-sifat dari pada perempuan. jika ada perempuan yang tidak
suka menghias dirinya (tidak ingin mempercantik diri),bersikap menentang bila
disakiti, sangat aktif, dipandang perempuan tersebut yang tidak normal dan
tidak feminim, karena berprilaku menyimpang dari norma kultural.
Berdasarkan aspek-aspek sosio-kultural, maka
pengertian gender menjadi cultural
expectations for women and men (Lips, 1993;4). Pendapat ini sejalan dengan
pendapat umum bahkan kaum feminis seperti Lindsey, yang menganggap semua
ketetapan masyarakat perihal penentuan seseorang sebagai perempuan atau
laki-laki adalah termasuk bidang kajian gender. Dari beberapa definisi gender
seperti diatas, jelasla bahwa gender adalah suatu konsep yang digunakan untuk
klasifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dilihat dari segi sosio-kultural.
Gender dalam arti ini mendefinisikan perempuan atau laki-laki dari sudut non
biologis.
Dahulu budaya masyarakat menganggap dan berusaha
membentuk sifat-sifat pemberani, kuat, perkasa, dan rasional sebagai sifa
laki-laki, sedangkan sifat lemah lembut, pasif, sabar, emosional sebagai sifat
perempuan. padahal kenyataan menunjukkan, sifat-sifat tersebut dapat
dipertukarkan. Artinya, tidak sedikit perempuan yang pemberani dan kuat, dan
tidak sedikit laki-laki yang cengeng dan cepat frustasi. Pertukaran sifat-sifat
tersebut tetap tidak mengubah organ biologis jenis kelamin yang mereka miliki atau
tidak mengubah identitas seks mereka, kecuali mengubah identitas gender mereka.
Dengan demikian identitas perempuan dan laki-laki
berdasarkan seks adalah konstan, sedangkan identitas gender selalu berubah
sesuai dengan perkembangan budaya di masyarakat.
Adapun ideologi gender adalah segala aturan, nilai,
norma yang mengatur hubungan kesetaraan antara perempuan dan laki-laki dengan
prinsip yang lebih equal. Artinya, jika ada ideologi dalam budaya masyarakat
yang memihak kepada yang serba laki-laki atau yang serba perempuan maka disebut
ideologi bias gender.
Jadi ideologi yang bias gender adalah ideologi dimana
norma, keyakinan, adat kebiasaan, dan nilai-nilai lazimnya masih serba
laki-laki, sehingga ketika menemukan fenomena yang tidak sesuai dengan norma
yang “serba laki-laki” (patriarkhi) dianggap menyimpang. Inilah kesalahan
mengukur perempuan dari perspektif laki-laki, bukan perspektif manusia.
Dengan demikian, ideologi gender merupakan ideologi
yang lebih humanis dan adil. Ideologi gender bukan ideologi yang “serba
laki-laki” (patriarkhi) dan bukan pula ideologi yang “serba perempuan”
(matriarkhi).
Sistem nilai dan norma yang menyebabkan stereotip
(pelabelan) tentang perempuan merupakan faktor utama yang mempengaruhi posisi
maupun hubungan perempuan dengan laki-laki atau dengan lingkungannya dalam
struktur sosial yang ada. Nilai dan
norma tentang perempuan dalam masyarakat tumbuh dari konsensus dan
konflik yang tidak terlepas dari dinamika ekonomi, sosial, politik dalam
masyarakat sendiri yang dibawa secara turun temurun, yang kemudian menjadi
ideologi masyarakat.
Agar ideologi itu secara dominan diterima oleh
masyarakat perlu mekanisme tertentu. Maka muncullah “hegemoni” untuk mengacu ke
dominasi ide-ide tertentu yang didukung oleh kelompok-kelompok yang berkuasa
dalam masyarakat. Di sinilah posis perempuan berangsung-angsur terhimpit oleh
ideologi budaya masyarakat, seperti budaya pemingitan, pengucilan dari
bidang-bidang tertentu, dan feminitas perempuan.
Berhubung persoalan kehidupan manusia semakin
kompleks, dan setiap unsur dalam sistem nilai atau ideologi itu sulit menerima
secara sukarela tanpa “paksaan”, yang langsung maupun tidak langsung dan
memiliki kepentingan-kepentingan yang berbeda, maka muncullah ideologi gender
sebagai wujud gugatan perempuan terhadap ideologi yang telah menghempaskan perempuan
ke posisi subordinat.
Namun tidak dapat disangkal bahwa ideologi gender
selama ini masih tetap bersiggungan dengan berbagai ideologi lain yang masih
berkutat dalam perdebatan. Maka sejarah panjang perjuangan perempuan belum
boleh berhenti di sini, karena dalam wacana, apalagi dalam fenomena, masih
menorehkan kesenjangan yang sangat jelas. Gugatan kaum feminis tentang
kesetaraan dan keadilan perempuan, nyaris terabaikan oleh isu-isu politik,
ekonomi, pertahanan, dan keamanan yang lebih terihat “seksi” dan bergengsi
Banyak
stereotipe bersifat umum
sehingga menjadi ambigu,
misalnya kategori maskulin dan
feminin. Memberi cap
stereotipe sebagai maskulin
ataufeminin pada individu
dapat menimbulkan konsekuensi
signifikan. Mencap laki - laki sebagai
maskulin dan perempuan
sebagai feminim dapat menimbulkan pembatasan
peran, status, dan tanggung jawab
dalam kelompok sosial mereka.
Sebaliknya, Mencap laki-laki
sebagai feminin dan
perempuan sebagai maskulin dapat menghilangkan status sosial dan
penerimaan mereka dalam kelompok.
Maka, sebenarnya pelekatan
semacam ini harusnya
tidak dilanggengkan.
Pelekatan
sifat-sifat gender ini
dimantapkan dan dilembagakan
dalam tatanan nilai masyarakat
sebagai acuan bertindak
sejak lahir sampai
akhir hayat. Perempuan dicitrakan
sebagai sosok manusia yang lemah dan emosional sehingga perlu dilindungi,
sedangkan lelaki digambarkan
sebagai sosok manusia
gagah perkasa dan pelindung. Akibatnya, perempuan sejak kecil sudah
tersosialisasi untuk melakukan
peran domestik sementara
laki-laki melakukan peran
universal (Hubeis:2010).
B.
DISKRIMINASI
TERHADAP PEREMPUAN DALAM SUATU KULTUR
1. Diskriminasi terhadap perempuan pra Islam
Kedudukan
wanita baik dalam
dimensi sosial maupun
perundangundangan dalam konteks sejarah, dimana wanita bagi bangsa India
bagaikan benda yang tak
boleh hidup sepeninggal
suaminya. Di Persia,
kehidupan seratus persen tergantung
kepada laki-laki, wanita
bisa dibunuh oleh suaminya dan bisa juga dipenjarakan di
rumah untuk selamanya.2
Lain halnya
orang yunani memandang
perempuan sebagai penyebab lahirnya perbuatan
setan, bahkan dianggap
sebagai barang komoditi
yang bisa diperjual belikan
di pasar bebas.
Perempuan tidak berhak
melakukan transaksi apapun dan
tidak boleh memiliki
suatu benda apalagi
warisan. Apabila suaminya meninggal,
seorang isteri bisa
diwariskan kepada saudaranya atau
kerabatnya.3
Bangsa
Romawi menganggap perempuan
sebagai binatang, ia
tidak mempunyai hak untuk memiliki dan tidak pula menggunakan harta.
Jika ada seorang pria membunuh
seorang wanita, maka
ia harus menyerahkan putrinya untuk dibunuh sebagai
pembalasan atau perbuatannya itu. laki-laki mempunyai kekuasaan
mutlak terhadap kaum
hawa dan boleh
menjualnya sebagai budak belian.4
Di Perancis pada tahun 506 M pernah diadakan seminar
tentang hak perempuan apakah ia bisa dianggap manusia atau tidak. Hasil dari
seminar itu menyimpulkan bahwa kedudukan perempuan sebagai manusia diciptakan
hanyalah untuk mengabdi kepada laki-laki dan tidak lebih dari itu.5
Berbeda dengan kekuasaan masyarakat jahiliyah dimana
perempuan dianggap sebagai kehinaan
keluarga.6
Inilah
beberapa gambaran pemerkosaan
harkat dan martabat perempuan
pada zaman pra Islam.
2.
Muhammad
Athiyah al-Abrasy, Maka>nah
al-Mar’ah fi> al-Islam, (Kairo: Maktabah Mis}r Rajallah,
t.th.), 9.
3.
Ahmad
Kairat, Markaz al-Mar’ah
fi> al-Isla>m, (Kairo:
Da>r al-Ma’aru>f, 1983),
11.
4.
Muhammad
Albar, Wanita Karier
dalam Timbangan Islam,
(Jakarta: Pustaka Azzam, 1998), 1.
5.
Mansour Fakih, Analisis..., 133
6.
Lihat Q.S. al-Nahl ayat 58-59.
2
Perihal
perempuan dan dunia kerja
Diskriminasi
dapat diartikan sebagai
sebuah perlakuan terhadap
individu secara berbeda dengan
didasarkan pada gender,
ras, agama,umur, atau karakteristik yang
lain. Diskriminasi juga
terjadi dalam peran
gender. Sebenarnya inti dari diskriminasi adalah perlakuan berbeda.Akibat
pelekatan sifatsifat gender tersebut, timbul masalah ketidakadilan (diskriminasi) gender.Mosse (2007)
menyatakan bahwa kerja
perempuan di seluruh
dunia dinilai rendah. Kerja rumah tangga perempuan tidak dimasukkan
dalam formulir sensus karena kerja
perempuan tidak diperhitungkan. Kerja
perempuan dilukiskan sebagai hal
yang tidak tampak karena kerja
itu tidak terekam secara statistik.
Perempuan masih mengalami nasib menyedihkan akibat
perlakuan diskriminatif dan penghargaan yang tidak berimbang dari struktur yang
didominasi oleh laki-laki dalam dunia kerja. Dalam pekerjaan, perempuan masih
menghadapi persoalan. Menurut Moore (Saptari & Holzner, 1997:20), makna
kerja tidak hanya menyangkut apa yang dilakukan seseorang, tetapi juga
menyangkut kondisi yang melatarbelakangi kerja tersebut, serta penilaian sosial
yang diberikan terhadap pekerjaan tersebut.
Bekerja dalam pandangan agama adalah keniscayaan. “(Allah) yang menciptakan mati dan hidup
untuk menguji kamu (manusia), siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya,
yakni pekrjaannya” (QS. Al-Mulk [67]: 2). Bahkan tidak ditemukan satu teks
keagamaan yang jelas dan pasti, baik dalam al-Qur’an maupun sunnah, yang
mengarahkan kepada larangan bagi perempuan untuk bekerja walaupun diluar
rumahnya. Pakar hukum Islam Mesir, Abu Zahrah, menulis : “Islam tidak menentang
perempuan bekerja. Hanya saja, yang harus perempuan perhatikan adalah bahwa
pekerjaan pokoknya yaitu membina rumah tangga karena perempuanlah yang mampu
melindungi rumah tangga dengan kasih sayang mereka. Perempuanlah yang mendidik
anak-anak mereka. Pada zaman Nabi SAW, perempuan-perempuan telah bekerja dengan
aneka pekerjaan.7 .
7.
M. Quraish Shihab, “Membumikan
Al- Qur’an”
Syaikh Muhammad al-Ghazali, seorang ulama kontemporer, mengemukakan emapat
hal dalam kaitan kerja perempuan, yakni :
1)
Perempuan tersebut memiliki kemampuan luar biasa yang
jarangdimiliki oleh perempuan maupun laki-laki.memperkenankannya bekerja,
membuahkan kemaslahatan untuk masyarakat karena adanyapada diri perempuan
tersebut kelebihan itu, sedangkan menghalangi keterlibatannya bekerja dapat
merugikan masyarakat karena tidak dapat memanfaatkan kelebihannya.
2)
Pekerjaan yang dilakukannya hendaklah yang layak bagi
perempuan, seperti pendidikan atau menjadi bidan. Bahkan Muhammad al-Ghazali
mengutip pakar hukum Islam, Kamaluddin Ibnu al-Humam, “Suami tidak boleh
meelarang istrinya untuk melakukan pekerjaan yang sifatnya fardhu Kifayah yang
khusus berkaitan dengan perempuan, seperti menjadi bidan,” tetapi ketika keluar
bekerja, perempuan harus tampil dengan sikap dan pakaian terhormat.
3)
Perempuan bekerja untuk membantu suaminya dalam
pekerjaannya. Dimana istri membantu suami dalam usaha pertanian dan semamnya.
4)
Bahwa perempuan perlu bekerja demi memenuhi kebutuhan
hidupnya dan kebutuhan hidup keluarganya jika tidak ada yang menjamin
kebutuhannya atau, kalaupun ada, itu tidak mencukupi.
Pada prinsipnya, Islam tidak melarang perempuan
bekerja. Selama perempuan dapat memelihara tuntunan agama serta dapat menghindarkan
dampak-dampak negatif dari pekerjaan yang ia lakukan itu terhadap diri,
keluarga, dan lingkungannya.Yang digariskan hanyalah bahwa pekerjaan tersebut
tidak menjadi beban yang sangat berat dipiku, baik karena lamanya waktu kerja
maupun karena sifat pekerjaan.8
Sebagaimana telah tersebut di muka, perempuan masih
mengalami nasib yang menyedihkan akibat perlakuan diskriminatif dan penghargaan
yang tidak berimbang dari struktur yang didominasi oleh laki-laki dalam dunia
kerja. Dalam
8.
(M. Quraish Shihab, “Perempuan”.
Jakarta :402).
pekerjaan, perempuan masih menghadapi persoalan. Pekerjaan rumah tangga
yang dilakukan oleh perempuan bahkan tidak dianggap sebagai pekerjaan, tetapi
sebagai subsidi dan kebaikan perempuan sebagai kelangsungan rumah
tangganya,meski pun pekerjaan tersebut menguras tenaga dan menyita waktu.
Sementara itu pekerjaa perempuan diluar rumah tangga menghadapi persoalan,
seperti pelecehan seksual dari lawan jenis, upah dan posisi jabatan yang lebih
rendah dibadingkan dengan laki-laki seprofesi.
Robins
(2008) menjelaskan salah
satu bentuk diskriminasi
dalam pemberian imbalan kerja, wanita biasanya dibayar (upah) lebih
sedikit daripada pria dalam pekerjaan-pekerjaan yang
sebanding dan mempunyai
harapanharapan imbalan kerja
yang lebih rendah
daripada pria untuk
pekerjaan yang sama. Fakih (2008)
mengemukakan secara rinci
manifestasi ketidakadilan
gender, yaitu: marjinalisasi
(peminggiran), subordinasi (penomorduaan), stereotipe, kekerasan (violence), dan beban kerja berlebihan.
Perempuan,
pihak paling rentan
mengalami kekerasan, dimana
hal itu terkait dengan
marjinalisasi, subordinasi maupun
stereotipe diatas. Perkosaan, pelecehan seksual
atau perampokan contoh
kekerasan paling banyak
dialami perempuan.Sebenarnya
tidak ada yang
salah dengan pembedaan
itu. Namun temyata pembedaan karakter
tersebut melahirkan tindakan
kekerasan. Dengan anggapan bahwa perempuan
itu lemah, itu
diartikan sebagai alasan
untuk diperlakukan semena-mena,
berupa tindakan kekerasan
3
Fenomena
ketidak adilan terhadap perempuan
Sampai
saat ini, laki-laki masih senang menyebarkan issue bahwa kesalahan pendapat ,
kesalahan-beresan urus, kelambanan berfikir, dan ketidak tegasan keputusan
adalah sifat-sifat perempuan sehingga menjadi alasan untuk meminggirkan kaum
perempuan dari kancah puplik. Laki-laki masih enggan memberikan kepercayaan
kepada perempuan dan tidak mau melibatkan perempuan dalam urusan yang memerlukan pendapat .Apabila ada
gagasan yang salah,laki-laki segera menuding,”itulah gagasan perempuan “. Laki
–laki masih senang mendengungkan “kekuasaan adalah dunia laki-laki dan
konsekuensinya perempuan harus enyah ke
pinggir memberi jalan untuk laki-laki bereada di tengah panggung kekuasanan .
Ironisnya hegemoni ,prejudice,dan dominasi simbolik maupun actual dari
laki-laki terhadap perempuan , tidak hanya terjadi di kalangan di kalangan
masyarakat awan ,tetapi terjadi juga di masyarakat intelektual.
Budaya
agaknya masih memihak kepada laki-laki sebagai pemegang kekuasaan dan pemegang
kebijakan yang acap kali tidak bijak , karena hanya didasarkan pada norma dan
selera laki-laki belaka,sehingga mengakibatkan perempuan makin terhimpit dalam
budaya partiarki yang nyaris tidak cukup nyali untuk menguatkan budaya yang
sudah mengakar dan melembaga di masyarakat .
Mayoritas
perempuan dalam dunia pekerjaan ,jalur kepemimpinan , struktur organisasi
,posisi jabatan, pengambilan keputusan (decission maker),maupun peluang
berpendidikan masih sanggat sedikit. Laki-laki yang memperoleh posisi dan
kesempatan yang menguntungkan ,biasanya bukan semata karena mereka
”berprestasi”(?),tetepi (mungkin) karena
mereka laki-laki . Sebaliknya , perempuan meskipun ” berprestasi”, seringkali
tidak memperoleh posisi dan kesempatan yang menguntungkan ,semata-mata karena
meereka (mungkin) perempuan.
Dalam
rumah tangga ,masyarakat, maupun Negara,banyak pembuatan kebijakan
tanpa”menganggap penting”kedudukkan kaum perempuan. Bentuk dan mekanisme dalam
proses subordinasi dari waktu ke waktu dan dari tempat ke tempat lain
menunjukan perbedaan. Misalnya, menganggap perempuan itu “emosional”.sehingga
dia tidak tepat untuk memimpin partai atau menjadi menajer. Dengan
mengatas-namakan agama ,kaum perempuan tidak boleh memimpin apa pun, termasuk
masalah keduniawian , meski yang bersangkutan memiliki keunggulan di banding
laki-laki di lingkungannya .
Dalam
masyarakat ,banyak berkemban stereotype yang dilabelkan kepada kaum perempuan
yang mengakibatkan pembatasan dan pemiskinan yang merugikan kaum perempuan. Di
samping itu,karena peran perempuan di posisikan untuk mengelolah rumah tangga
maka jika perempuan peran public ,ia tidak dapat melepaskan sedikit pun dari
beban perean domestic, meskipun kontribusi ekonomi dan peran public perempuan
itu cukup signifikan ,perempuan tidak mendapatkan penghargaan dan apresiasi
yang sama seperti halnya laki-laki.
Keyakinan
bahwa laki-laki harus “memimpin” kaum perempuan bukanlah persoalan ,sepanjang
kepemimpinannya bersifat adil dam tidak menindas. Namun kepercayaan
tersebut kemudian membawa keyakinan
,bahwa kaum perepuna adalah subordinat dari kaum laki-laki ,meskipun secara
objektif misalnya perempuan lebih mampu,lebih pandai dan lebih layak ,ia tetap
harus dipimpin. Keyakinan yang sudah melekat secara turun menuun dalam
masyarakat ini telah berpengaruh terhadap perempuan ,mulai dari rumah tangga,
di masyarakat, dalam organisasi,sampai Negara
Kenyataan
penindasan, eksploitasi,dan tekanan social yang dialami perempuan bukan hanya
cara masyarakat Arab, masyarakat Timur Tengah atau Negara-negara dunia ketiga,
akan tetapi semuanya merupakan bagian integral dari system politik, ekonomi,
dan budaya yang berpengaruh besar terhadap masyarakat terbelakang maupun
masyarakat modern .
Posisi
perempuan dalam budaya seperti dalam adat istiadat,film, iklan, media masa,
tempaknya menggambarkan ketertindasan yang sudah begitu mapan dan
berkepanjangan. Kemapanan itu membuat manusia lupa bahwa telah terjadi
penindasan secara structural dan melembaga, dan nyaris tanpa menghiraukan suara
parau gugatan kaum tertindas. Penindasan terhadap perempuan uang begitu mapan
telah mematikan kesadaran manusia untuk membela kaum tertindas. Ketertindasan
muncul dalamkehidupan sehari-hari, dirumah, masyarakat, maupun tempat perempuan
bekerja.
Budaya
organisasi sampai saat ini di semua tinggkat, baik swasta maupun pemerintah ,
biasanya banjir laki-laki di puncak primadaninya. Dengan gambaran ini, maka
struktur organisasin bersifat maskulin. Dalam ideology gender, organisasi yang
serba laki-laki atau serba perempuan termasuk organisasi yang biasa gender dan
tidak demokratis. Organisasi yang peka gender dan demokratis adalah organisasi
yang melibatkan peran seluas mungkin bagi perempuan dan laki-laki dalam setara.
Melibatkan
sejumlah perempuan dalam struktur kepemimpinan, meski setidaknya akan memenuhi kebutuhan dan kepentingan
perempuan, namun jika kesempatan itu merupakan hadiahatau pemberian dari
kelompok dominan(mayoritas laki-laki) kepada kelompok minoritas (perempuan),hakikatnya
bukan merupakan organisasi yang peka
gender.
Permpuan
yang memperoleh posisi karena hadiah dari kelompok mayoritas,yakni perempuan
pertama, atau perempuan satu-satunya dalam organisasi yang seluruhnya
beranggotakan kaum laki-laki, perempuan tersebut ibaratkan”lampu
sorot”(lipps,1993). Sebagai lampu sorot,segala gerak gerik senantiasa disoroti,
dan ia harus bertanggung jawab mewakili masa depan kaumnya.
Dua
kondisi yang berbeda terjadi pada permpuan pada komlompok minoritas dalam
budaya yang seeba laki-laki, merupakan iklim yang tidak sehat bagi kepribadian
perempuan dalam menjalankan pekerjaannya. Dengan demikian, keberadaan perempuan
dalam budaya organisasi yang serba laki-laki tidak serta merta berarti “baik”
untuk perempuan.
Budaya
masyarakt telah membikin sedemikian lemah posisi perempuan, sehimgga perempuan
tidak memiliki nyali dan keberanian sekedar mempertanyakan konsep-konsep budaya
yang telah mentak-berdayakannya. Sejumlah kenyataan menunjukankan, bukankah
kalau adapeluang mendapatkan posisi karir antara karyawan dan karwati,maka
karyawan lebih didahulukan? Bukankah kalau ada posisi jabatan strategis untuk
dosen, maka dosen laki-laki mendapatkan prioritas? Bukankah kalau dalam waktu
bersamaan suami dan istri harus bertugas diluar rumah, maka isteri harus
mengalah? Bukankah isteri yang wajib pergi harus minta ijin kepada suami,tetapi
keadaan ini sudah tidak berlaku lagi bagi suami? Bukankah kalau isteri harus
mempertanggungjawabkan secara jujur keuangan rumah tangga,tetapi suami bebas
menggunakan uang meskipun isterinya sama-sama berpengasilan? Bukankah kalau
biaya pendidikan terbatas, anak laki-laki di prioritaskan? Bukankah kalau
perempuan tidak mau melayani kebutuhan biologis suami,maka malaikat mengutuk,
akan tetapi apakah demikian juga bagi suami yang tidak mau merespon kebutuhan
biologis isterinya? Demikianlah pula, budaya membiarkan perempuan menangis ,dan
akan mengolok-olok kalau laki-laki menangis. Seolah-olah laki-laki tidak
diciptakan untuk memiliki perasaan sentimental dan emosional. Sesungguhnya
sifat mengalah,cengeng,mudah menangis , dan emosional adalah sifat-sifat yang
disosialisasikan oleh budaya kepada perempuan, sedangkan pemberani dan agresif
disosialisasikan oleh budaya sebagai sifat laki-laki.
Posisi
perempuan sering berimbas oleh kondisi ekonomi masyarakat. Dalam pertengahan
era orde baru, sekitar sekitar tahun 70-80-am, yang di anggap masa melimpahnya
materi untuk kalangan penjabat pemerintah saat itu. Isteri-isteri pejabat
selalu mengikuti suami bertugas di luar sambil shoping. Para perempuan yang
aktif mendukung karir suami, diposisikan berada dalam kelas soisial yang
tinggi.
Akan
tetapi pada decade 90-an, ketika ekonomi bapak-bapak pejabat makin melimpah,
karirnya makin tinggi, dikejutkan oleh masalah social yang melanda sebagian ke
anak-anak mereka, yaitu kenakalan remaja, penyalah gunaan narkotika,psikotropika,
dan zat adiktif (NAPZA) yang merajarela, panti pijat,salon, rumah mandi uap
menjamur, yang menimbulkan kenakalan bapak-bapak. Terhadap persoalan tersebut kemudian
didengungkan program agar ibu-ibu kembali kerumah-rumah mereka, mengasuhd dan
mendidik anak-anak,dan membiar suami bertugas di luar tanpa di damping isteri
dengan alasan efisiensi keuangan Negara. Seolah-olah merumahkan perempuan
merupakan solusi mujarab demi kedamaian dan keharmonisan rumah tangga. Psosisi
perempuan yang tinggi dalam decade ini adalah mampu menciptakan keharmonisan
keluarga, bukan lagi perempuan yang aktif di luar rumah.
Dengan
demikian factor budaya,khususnya tradisi sungguh sangat memainkan peran dan
memposisikan perepuan. Dominasi laki-laki atas perempuan dalam budaya masih
tampak,misalnya budaya jawa memandang bahwa perempuan baik adalah yang berumah
tangga, monogamy, mampu melahirkan , mengasuh, dan mendidik anak, serta menciptakan
keharmonisan. Dalam budaya seperti ini, perempuan taat dan patuh, termasuk
ketaatan seseorang gadis ketika dipaksa menikah.
Perjuangan
kaum feminis mencari jalan keluar untuk usaha pembebasan kaum perempuan dari
dominasi laki-laki dimasyarakat Indonesia, masih menanggapi tantangan dan
berlaku yang melelehkan, bahkan mungkin menemui jalan buntu. Memperjuankan kesetaraan yang di lakukan oleh
kaum feminis sering terbatas hanya sampai pagar rumahnya, karena masih banyak
menghadapi rintangan kaum laki-laki di rumahnya, apakah suami atau ayahnya
masih bias. Apalagi kesetaraan dalam dunia kerja akan sangat berbahaya bagi
kelangsungan karirnya, karena akan menghadapi struktur birokrasi yang memihak
dan menguntungkan laki-laki
4
Diskriminasi
terhadap perempuan adat
Diskriminasi yang terjadi pada perempuan adat dalam
kajian Ekofeminisme III yaitu perempuan adat dan hak ulayat dalam konflik
agararia. Sosok perempuan yang tidak dapat menahan emosi tatkala cerita nasib
hutan adat Dayak Manyaan. Mardiana seorang perempuan Dayak maanyan, yang
bekerja perwat di Dusun Timur, kecamatan Tamiang Layang berusia 56 tahun dari
desa Sarapat, kabupaten Barito Timur, Kaltrng sejak 1979, menekuni pekerjaan
itu dengan keluar masuk desa membantu warga. Dia prihatin dan sedih melihat kehancuran
hutan adat mereka. Bahkan ketika ada bentuk perlawanan akan dihadapkan dengann
aparat negara. Ada yang ditangkap, luka-luka sampai tewas, tak terkecuali para
perempuan adat.
Sejak 1993, perusahaan hutan tanaman industri (HTI)
karet masuk wilayah komunitas Dayak Maanyan, diantara lain di kampung janah
jari, kecamatan Awang, Barito Timur, Kalteng. Namanya PT Haspram. Kini
mengganti nama menjadi PT. Sendabi Indah Lestari dan warga pun dibujuk
melepaskan lahan adat mereka. Mardiana pun tidak tahan melihat perlakuan
perusahaan dan aparat kepada warga. Diapun ikut membantu perjuangan warga dan
bergabung di Aliansi Masyarakat Adat (AMAN) regional Kalimantan. Hubungan
perempuan adat dengan alam begitu erat. Hingga kerusakan hutan ini begitu
terasa bagi perempuan-perempuan adat.
Sumber air dari sungai dan rawa-rawa mengkhawatirkan.
“sungai di Barito Timur, dari warna coklat, lalu hitam, biru, hijau, kini
kental dan bau. Sumber mata pencarian pun hilang, berujung anak-anak putus
sekolah. Kemiskinan di kampung itu pun makin parah. Saat ini, kata Mardiana
dari 100’an keluarga di Janah Jari, 24 keluarga msikin, ada SD yang tidak bisa
melanjutkan lagi. “pencemaran sungai, katanya juga, berdampak buruk bagi
kesehatan masyarkat, terutama ibu-ibu hamil berpotensi melahirkan anak-anak tak
sehat. Ada bayi-bayi lahir cacat.
Nampaknya akibat perusahaan hadir menawarkan
pembangunan daerah, pengaruh buruk dari luar pun ikut masuk. Budaya yang selama
ini didaerah setempat pun mulai lutur, tidak ada lagi musyawarah sang suami pun
mengambil keputusan sendir tanpa melibatkan perempuan. ciri khas gotong royong
pun antar warga mulai menipis.
Kehadiran perusahaan dari kebun sawit, tambangsampai
retorasi ekosistem dan pemerintah lewat tanam nasional, maupun cagar alam,
bukan malah mengangkat hidup masyarakat adat. Bagi perempuan adat, kekerasan mulai
dari rumah mereka sendiri. Kemiskinan katanya membuat anak-anak perempuan adat
tidak menempuh pendidikan tinggi. Pemulihan kehidupan makin sulit kala
perempuan muda terjerat dalam sindikat perdagangan perempuan. kesehatan
reproduksi perempuan juga minim.
Dari keadaan, terlihat diskriminasi terhadap
perempuan-perempuan adat lebih besar darii laki-laki. Dalam internal komunitas
perempuan adat kerap di nomor duakan. Keberadaan hutan-hutan adat tak diakui
pemerintah.
C. LINGKUNGAN YANG TEPAT DAN BEBAS DISKRIMINASI
Upaya penghapusan
segala bentuk diskriminasi memang membutuhkan waktu yang lama dan harus
dilakukan dengan komitmen yang kuat karena berkaitan dengan cara pandang dan struktur
sosial. Tantangan lainnya adalah belum pulihnya kepercayaan masyarakat terhadap
kinerja aparat pemerintah yang selama ini dipandang bersikap diskriminatif
dalam menyelenggarakan pelayanan publik, rendahnya komitmen serta lingkungan
yang tidak kondusif dalam mendukung upaya penghapusan segala bentuk
diskriminasi. 12 Untuk mendukung upaya penghapusan diskriminasi dalam berbagai
bentuk, sasaran pembangunan yang akan dicapai adalah:
1. Teroperasionalkannya peraturan
perundang-undangan yang tidak mengandung perlakuan diskriminasi baik kepada
setiap warga negara, lembaga/instansi pemerintah, maupun lembaga swasta/dunia
usaha secara konsisten dan transparan;
2. Terkoordinasikannya
dan terharmonisasikannya pelaksanaan peraturan perundang-undangan yang tidak
menonjolkan kepentingan tertentu sehingga dapat mengurangi perlakuan
diskriminatif terhadap warga negara; dan
3. Terciptanya
aparat dan sistem pelayanan publik yang adil dan dapat diterima oleh setiap
warga negara.4(4 H.A. Masyhur Efendy, Dimensi-dimensi
HAM, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1994, hal. 61.)
Dan menciptakan lingkungan yang
ramah gender yaitu lingkungan yang sesuai dengan perilaku manusia, atau
perilaku manusia yang sesuai dengan lingkungan, dimana keduanya saling tidak
merugikan.9
Dalam lingkungan yang ramah
gender, hak-haknya terlindungi, dan menjadi bahan penilaian apakah lingkungan
sosial suatu institusi ramah terhadap perempuan atau tidak, setidaknya jika
lingkungan tempat bekerja tersebut memiliki beberapa kriteria sebagai berikut :
a.) Asas
keadilan, kesetaraan, dan kemitraan antara perempuan dan laki-laki tidak hanya
menjadi slogan dalam pernyataan misi intuisi, melainkan harus diterapkan dalam
kebijakan-kebijakan, peraturan-peraturan internal, dan mekanismenya.
9. (Dr. Hj. Eti Nurhayati, M.Si., “Psikologi Perempuan”, Yogyakarta. Hal 100-103.)
b.) Sumber-sumber daya yang ada harus disalurkan untuk
menerapkan kebijakan-kebijakan yang adil terhadap perempuan.
c.) Ada forum pertanggung-jawaban atas praktek penerapan
asas keadilan, kesetaraan, dan kemitraan sebagaimana yang sudah menjadi
kebijakan tertulis.
d.) Ada keseimbangan jumlah perempuan dan laki-laki dalam
pembagian kerja, jabatan, promosi.
e.) Harus berusaha mewujudkan sistem manajemen yang
memiliki komitmen terhadap kesetaraan gender, untuk perempuan dan laki-laki.
f.) Manajemen yang diterapkan bukan manajemen feminim,
tetapi manajemen gender, di mana setiap orang memiliki peluang yang sama,
mendapat pengakuan dan apresiasi yang sama, tanpa memandang perbedaan etnik,
golongan, dan jenis kelamin.
g.) Manajemn yang diterapkan terbuka untuk menerima
perubahan, berorientasi kepada pengembangan dukungan SDM secara keseluruhan,
umpan balik yang bermanfaat, serta mendorong kemajuan sesama rekan kerja.
h.) Hubungan manajemen harus diusahakan tidak vertikal.Didorong
untuk ada ruang pembetukan prakarsa dari bawah ke atas (bottom-up) serta forum
informal yang ‘mendatar’ untuk dialog dan pertukaran gagasan.
i.)
Sistem demokrasi yang
diterapkan dalam manajemen bukan demokrasi perwakilan, tetapi setiap individu
terakomodasi aspirasinya dalam sistem demokrasi tersebut.
j.)
Tidak menawarkan
peran-peran yang stereotip kepada perempuan dan laki-laki.
k.) Ada akses pembuatan keputusan secara tertulis yang
tidak tergantung pada kepribadian dan usaha perorangan.
l.)
Dapat menampung
aspirasi peran biologis perempuan sebagai manusia yang memiliki segala
kelebihan dan kelemahan yang disandang oleh perempuan dan laki-laki dalam
hubungan dengan mitra rumah tangga, teman, kerabat, dan anggota masyarakat di
mana mereka tinggal
m.) Semua unsur perempuan dan laki-laki , atasan dan
bawahan harus merasa ‘kerasan’ berada dalam lingkungan tersebut. Kualitas
terbaik setiap manusia di dalam lingkungan tersebut harus diakui, dihargai, dan
didukung.
n.) Setiap orang dalam lingkungan tersebut merasa terlindungi
dan didukung hak-hak individunya untuk memenuhi kebutuhan aktualisasi diri
dalam bersosial.
Ditangan pemimpin perempuan atau
laki-laki yang mempunyai visi lingkungan yang ramah terhadap perempuan dan
menerapkannya dalam manajemen kepemimpinan di lingkungannya, akan meningkatkan
produktivitas kerja, terjadi kompetisi sehat, dan jauh dari dampak psikologis
negatif lingkungan sebagaimana telah tersebut di atas.
Sikap eksploitatif, dominasi, dan
otoriter, bukan sekedar membawa petaka pada lingkungan, tetapi merusak perilaku
manusia yang berada dalam lingkungan tersebut. Inilah pesan moral al-Qur’an
kepada manusia sebagai Khalifah Fil ardh.
Saat ini perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin pesat
yang menghasilkan pelbagi fasilitas, sarana dan prasarana yang nyaris sempurna
menyebabkan manusia mengalami kemudahan dan lebih comfortable untuk melakukan
aktifitas keseharian. Sebagai contoh, adanya internet, orang menjadi lebih
mudah mengakses informasi secara cepat seberapapun jauhnya jarak, sehingga
internet dapat menjadi sarana mempertukarkan pelbagi penemuan ilmiah dengan
orang dari pelbagi belahan dunia dengan biaya yang sangat murah dalam waktu
yang sangat singakat. Dengan kecendrungan tersebut, maka terjadi
pendomestikasian kerja publik.
Dalam masyarakat yang kian komersial, istilah kerja
sering berkonotasi pada suatu tugas atau jabatan yang dilakukan dengan
memperoleh upah atau gaji, sehingga perempuan yang bekerja dari pagi sampai
sore, bahkan sampai tidur sekalipun, seperti hal-hal domestik dalam mengasuh
anak melayani suami dan sebagainya dianggap perempuan tersebut tidak bekerja.
Dan jika perempuan yang mengerjakan sesuatu hal dianggap hanya untuk mengisi
waktu luang seperti membuat kue dan titipkan di warung.
Untuk mengangkat dimensi kerja perempuan yang tak
tampak, maka perlu memberi batasan tentang hakikat kerja perempuan, seperti
kerja tak tampak dan kerja yang tampak, kerja produksi atau kerja reproduksi,
kerja mendapat upah atau kerja tanpa upah, kerja domestik maupun publik.
Berhubung semua pekerjaan pada dasarnya membutuhkan
energi, maka yang dimaksud dengan bekerja adalah mencakup semua bentuk
pekerjaan yang memperoleh upah atau tanpa upah, yang dilakukan didalam rumah
atau diluar rumah, sebagaimana yang disinyalir Saptari & Holzner (1997;20)
bahwa kerja adalah segala hal yang dikerjakan individu, baik untuk subsistensi,
diperlukan, diperdagangkan, atau menjaga kelangsungan hidup keluarga dan
masyarakat.
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Perempuan dalam dimensi historis
menampilkan sosok manusia yang tidak
mempunyai harkat dan
martabat sebagai manusia
yang utuh, bahkan nilai kemanusiaannya dapat
dipertukarkan dengan dimensi materil. Melihat kondisi seperti
ini maka kelahiran
Islam dapat memberikan
solusi dengan jalan mengangkat
harkat dan martabat
wanita yang selama
ini terpuruk dengan kultur yang
menempatkan wanita sebagai subordinasi.
kajian ini mengharapkan berbagai
sinyal positif bagi pengakuan dan pelindungan masyarakat adat, tak sebatas
komitmen semata sehingga benar-benar mampu menghadirkan Negara ditengah
masyarakat adat sebagai pelindung. Kementrian dan lembaga yang bergerek pun,
seharusnya bukan hanya yang berurusan dengan wilayah kelola atau hak wilayah
seperti kementerian Agraria, Kementerian LHK, BP REDD+ dan Kementerian Dalam
negeri Kementrian-kementerian lain seperti Kementerian Pemberdayaan perempuan
dan anak, kementerian Tenaga Kerja, Kementerian Kesehatan, Kemetroan
Pendidikan,Kementerian Pariwisata dan Kebudayaan serta Kementerian lainnya,
seharusnya bergerak bersama-sama. Berkoordinasi erat menjalakan visi misi
Jokowi mewujudkan perlindungan bagi masyarakat adat. Jika ini bisa berjalan,
perlahan perempuan-perempuan adat pun bisa menikmati hak yang sudah selayaknya
mereka terima. Hak-hak yang selama ini di lenggar karena pemerintah abai.
B.
SARAN
Banyak
pertanyaan berkaitan dengan masalah diskriminasi terhadap perempuan baik pada
tingkat regional maupun dunia. Untuk menjawab permasalahan-permasalahan
tersebut, Konvensi perempuan disusun dan diterima oleh Sidang Umum PBB tanggal
18 Desember 1979, kemudian diratifikasi oleh Indonesia melalui Undang-undang
No. 7 Tahun 1984, tanggal 24 Juli 1984.
Segala bentuk instrumen yang sudah ada sampai
saat ini belum efektif dan maksimal, dengan demikian perlu ada
pembenahan-pembenahan hak-hak perempuan dan penghapusan diskriminasi.
Kenyataan
yang ada menunjukkan masih jauh dari harapan, padahal kita mengetahui bersama
bahwa sudah cukup banyak perempuan yang berpendidikan yang dapat diberi
tanggungjawab sebagai penentu kebijakan nasional. Tetapi ternyata dalam
prosentase perempuan yang mendapat kesempatan tanggungjawab untuk itu masih
sangat kecil. Hal ini merupakan masalah besar yang membutuhkan penanganan lebih
lanjut untuk dibenahi oleh pemerintah.
Diharapkan Negara mengakui,
melindungi, memenuhi hak masyarakat terutama perempuan adat. Upaya ini dinilai
berhasil, katanya kalau angka kematian ibu, tingkat buta huruf
dan maslah pendidikan bisa di atasi. Juga perdagangan perempuan di
wilayah-wilayah kaya sumber dalam alam bisa di kurangi. Negara, katanya tidak
boleh membiarkan dan tutup mata serta melalaikan hak perempuan adat. Negara
tidak boleh mangkir dari kewajiban.
Komentar
Posting Komentar
Silahkan Tinggalkan saran & kritik anda :)