Emansipasi atau Eksploitasi Pekerja Perempuan di Dunia Tambang



BAB I
PENDAHULUAN

A.      LATAR BELAKANG
Perempuan kini tengah menjadi sorotan. Di era emansipasi ini masyarakat  mulai mengakui keberadaan perempuan yang makin maju dan mulai menunjukkan diri mereka. Keadaannya tentu berbeda ketika masyarakat belum mengenal emansipasi. Perempuan tidak bisa bebas untuk berekspresi dan bersosialisasi dengan leluasa. Perempuan masa kini sudah berani mengekspresikan diri dan mandiri tanpa terkekang oleh adat dan mitos dalam masyarakat. Mereka mulai meretas karir untuk meningkatkan kualitas dan kemampuan diri demi masa depan. Masyarakat yang mulai merasakan kekuatan emansipasi perempuan pun mulai terbuka dan mengakui sosok perempuan yang ingin disejajarkan dengan sesama mereka, yaitu laki-laki. Untuk menunjukkan kemampuan diri, perempuan lebih berani dan bebas memilih pekerjaan sesuai dengan minat mereka. Bahkan perempuan tak ragu lagi terjun ke dunia kerja yang kerap diidentikkan dengan kaum laki-laki, salah satunya memilih bekerja dipertambangan. Bukan hal yang mengejutkan lagi perempuan menerjuni dunia tambang, karena pada dasarnya masing-masing individu baik itu perempuan maupun laki-laki memiliki kesempatan yang sama, meskipun mayoritas pekerja tambang didominasi oleh laki-laki yang menyebabkan dunia tambang identik sebagai ranah maskulin.
Bekerja  dibidang pertambangan adalah hal yang berat. Namun  sejalan  dengan  perubahan yang terjadi dalam masyarakat, kaum perempuan  juga  telah  ikut berpartisipasi  pada  sektor pertambangan. Pelbagi hal yang melatar belakangi perempuan untuk memilih bekerja di dunia tambang. Tak bisa dipungkiri bahwa faktor upah merupakan salah satu pendukung meningkatnya ketertarikan pada bidang pertambangan, tak terkecuali perempuan itu sendiri. Tidak pasti apakah peningkatan ketertarikan perempuan pada bidang pertambangan merupakan wujud dari emansipasi perempuan atau mungkin ladang eksploitasi sumber daya manusia terhadap perempuan, tapi yang jelas bahwa ketertarikan dan peluang itu semakin bertambah bagi kaum hawa. Memilih bekerja ditambang pastinya ada hal yang diterima yaitu lokasi tambang didaerah terpencil, kondisi tambang yang beroperasi selama 24 jam, dan sistem kerja shift-shift-an. Bahkan pekerjaan di tambang menguras fisik dan pikiran. Pekerjaan di tambang diperlukan kewaspadaan karena bekerja diantara mesin, dan alat berat. setiap harinya mereka berhadapan langsung pada resiko kecelakaan atau bencana akibat resiko kerja yang lebih besar dalam bekerja.
Indikasi perempuan memasuki wilayah kerja dengan tanpa keahlian atau dengan keahlian yang setara dengan laki-laki, akibat tekanan ekonomi, sebatas menghidupi diri dan keluarganya, yang bahkan perempuan dipertambangan justru rentan dengan kekerasan. Secara spesifik, perubahan drastis ini kita bisa amati di wilayah pedesaan. Masuknya proyek-proyek pembangunan industri, mendorong laju konversi lahan pertanian secara besar-besaran. Akibatnya terjadi penyimpitan kesempatan kerja perempuan di sektor pertanian dan mengancam cadangan pangan keluarga. Inilah salah satu indikasi, perempuan desa untuk memilih bekerja di dunia pertambangan.
Pertambangan adalah salah satu bentuk dari kapitalisme ekstraktif, yang mendapatkan surplus dari ekstraksi mineral sebanyak-banyaknya dengan kekuatan produksi pada kemampuan melipat gandakan modal dan teknologi, mengupayakan berbagai cara untuk mendapatkan akses rezim perizinan, perpajakan, dan perlindungan politik1. Seperti halnya dengan cabang produksi kapitalisme lainya, pertambangan juga menebar petaka bagi perempuan dilokasi-lokasi pertambangan dimana pun didunia ini. Pertambangan dapat menciptakan relasi diskriminasi dan eksploitatif terhadap perempuan. Relasi ini tidak hanya menyingkirkan perempuan dari sumber-sumber ekonomi strategis, tetapi lebih jauh menciptakan kelas baru khususnya dipedesaan yakni mengambarkan subordinasi dari sistem sosial ekonomi yang lebih luas.
1. Arianto Sangaji, Buruk Inco Rakyat Digusur; Ekonomi Politik Pertambangan Indonesia. Sinar Harapan, Jakarta, hal. 20
Gambaran  dari  banyaknya  persoalan  perempuan  sebagai akibat  dari masuknya  pertambangan  itulah  yang  menciptakan  pandangan  bahwa  perempuan adalah  pihak  yang  sangat  rentan  teropresi.  Pertambangan  dan  segala konsekuensinya  terbukti  menimbulkan  dampak  yang  sangat  merugikan perempuan  dalam  bentuk  penindasan  berlapis.  Perempuan  didiskriminasi  oleh perusahaan dalam bentuk pemutusan akses terhadap sumber daya alam dan tidak diciptakannya  lapangan  kerja  bagi  mereka.  Negara  juga  turut  mendiskriminasi mereka lewat penerbitan berbagai kebijakan yang sarat kepentingan korporasi dan bias  gender.  Dominasi  laki-laki  tampak  dalam  sistem patriarkhi  yang menghegemoni perempuan lewat mitosnya  yang meranahkan perempuan sebagai ‘konco wingking’ disertai penambahan berbagai bentuk tanggung jawab domestik yang seharusnya bisa dibagi dengan laki-laki.
Berbagai macam polemik permasalahan yang muncul akibat pekerja perempuan berkecimpung didunia pertambangan, yang sangat mempengaruhi terhadap perempuan itu sendiri. Dari segi pekerja perempuan, dari daerah perkotaan hingga masyarakat perempuan di sekitar area tambang yang ikut menerjuni dunia tambang. Bahkan, beberapa perusahan yang legal dan memperkerjakan perempuan sebagai buruh tambang, hal ini biasanya mayoritas penduduk wilayah sekitar tambang. Karena keberadaan tambang sangat berpengaruh pada lingkungan maupun masyarakat sekitarnya, dalam hal ini perempuan pun ikut ambil andil. Oleh karena itu, makalah ini akan sedikit mengkaji terhadap isu-isu perempuan maupun studi kasus terhadap pekerja perempuan.

B.       RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang masalah diatas maka dapat dirumuskan beberapa masalah yaitu :
1.        Bagaimana peran, serta kondisi perempuan dalam dunia pertambangan ?
2.        Kebijakan apakah yang diberikan perusahaan terhadap pekerja perempuan ?
3.        Bagaimana seharusnya posisi ideal pekerja perempuan dalam dunia pertambangan ?

C.      BATASAN MASALAH
Agar penjelasan masalah dari makalah yang telah di buat ini lebih jelas, terarah dan tidak keluar dari pembahasan, maka penulis menganggap perlu memberikan sebuah batsan-batasan masalah pada pembahasan makalah, yaitu : Pengertian Emansipasi dan eksploitasi pekerja perempuan, peran dan kondisi perempuan didunia pertambangan, kebijakan perusahaan terhadap pekerja perempuan, serta posisi strategis pekerja perempuan di dunia pertambangan.

D.      MAKSUD DAN TUJUAN
Adapun maksud dan tujuan dari penulis, dibagi menjadi dua tujuan yakni tujuan umum  dan tujuan khusus. Sebagai berikut :

1.      Tujuan umum
Yakni untuk menjadikan makalah ini sebagai kajian keilmuan yang bermanfaat bagi pembaca, dan untuk menjelaskan bagaimana seorang perempuan di dunia pertambangan, menjawab pertanyaan ambigu mengenai emansipasi atau ekploitasi yang terjadi pada para pekerja perempuan serta adanya sumbangsih solusi terhadap pekerja perempuan di dunia tambang.

2.      Tujuan khusus
Yakni untuk melengkapi persyaratan mengikuti LKK (Latihan Khusus Kohati) yang diselenggarakan oleh kohati cabang Sangata. Dan sebagai bahan kajian di arena Trainning baik didalam forum maupun diluar.







BAB II
PEMBAHASAN

A.      EMANSIPASI DAN EKSPLOITASI PEREMPUAN DI DUNIA KERJA
1.        Emansipasi Pada Perempuan
1.1)       Pengertian Emansipasi
Menurut kamus besar bahasa Indonesia emansipasi ialah pembebasan dari perbudakan, persamaan hak dan berbagai aspek kehidupan masyarakat
Emansipasi perempuan ialah proses pelesapan diri para perempuan dari kedudukan sosial ekonomi yang rendah atau dari pengekangan hukum yang membatasi kemungkinan untuk berkembang dan untuk maju.
Dan bicara emansipasi perempuan, maka pasti membicarakan Kartini, seorang perempuan priyayi Jawa yang memiliki pemikiran maju di masanya yang kemudian diangkat namanya menjadi penggerak emansipasi perempuan Indonesia, berkat surat-surat korespondennya pada sahabat Belandanya yang kemudian diangkat menjadi sebuah buku berjudul ‘Habis Terang Terbitlah Terang’.
Jadi bila disimpulkan arti Emansipasi dan apa yang dimaksudkan oleh Kartini adalah agar perempuan mendapatkan hak  untuk mendapatkan pendidikan, seluas-luasnya, setinggitingginya. Agar perempuan juga di akui kecerdasannya dan diberi kesempatan yang sama untuk mengaplikasikan keilmuan yang dimilikinya dan Agar perempuan tidak merendahkan dan di rendahkan derajatnya di mata pria.
Dalam hal ini tidak ada perkara yang menyatakan bahwa perempuan menginginkan kesamaan hak keseluruhan dari pria, karena pada hakikatnya laki-laki dan perempuan memliki kelebihannya masing- masing.
Lantas sekarang, emansipasi dijadikan kedok “kebebasan” para perempuan. Dimana perempuan melupakan “keperempuanannya” dan lebih menunjukan keperkasaannya secara fisik, yang notabene bukan lahannya namun memaksakan agar diakui.

1.2)       Emansipasi Perempuan Di Dunia Kerja
Emanasipasi perempuan dalam dunia kerja, saat ini nyatanya telah memberikan kontribusi yang cukup besar, terlihat dari banyaknya perempuan yang ikut berperan aktif dalam memajukan beberapa sektor industri di tanah air. Jika dulu perempuan kurang mendapat apresiasi, kini perempuan memiliki peranan yang cukup penting dalam dunia kerja , bahkan beberapa diantaranya justru memiliki karir di posisi yang sangat crusial dalam suatu badan usaha atau perusahaan.
Emansipasi perempuan, sudah bukan sebuah wacana lagi. Di Indonesia, persamaan kesempatan antara laki-laki dan perempuan sudah dianggap berjalan ideal. Juga tak ada perlakuan istimewa dalam hal tugas, kewajiban, penghargaan dan hukuman. Emansipasi yang berdasarkan kemampuan, bukan hanya kemauan semata.

2.        EKSPLOITASI PADA PEREMPUAN
2.1)       Pengertian Eksploitasi
Eksploitasi (bahasa Inggris: exploitation) yang berarti politik pemanfaatan yang secara sewenang-wenang atau terlalu berlebihan terhadap sesuatu subyek eksploitasi hanya untuk kepentingan ekonomi semata-mata tanpa mempertimbangan rasa kepatutan, keadilan serta kompensasi kesejahteraan.2
Karl Marx menjelasakan bahwa Kapitalisme menganggap semua barang itu komoditi, artinya barang bernilai hanya sejauh ia mempunyai nilai tukar dan dapat ditukarkan dalam tindakan tukar menukar. Menurut Marx, tidak hanya barang, tenaga kerja manusia pun dipandang sebagai barang dagangan.(Sindhunata, 1983:47)
Melihat pemikiran Marx, dapat diketahui bahwa sistem kapitalis telah membuat tubuh perempuan menjadi komoditi karena ia mempunyai nilai tukar yang tinggi. Disebutkan dalam Piliang (2010:269) bahwa semakin seksi, semakin terkenal, semakin top, atau semakin “berani” seorang cover girl yang ditampilkan

pada sebuah cover majalah, misalnya, maka ia akan mempunyai nilai tukar (currency) yang tinggi pula di dalam pasar libido, yang kemudian akan menentukan harga libidonya secara ekonomis.
Tubuh khusunya perempuan di dalam wacana kapitalisme tidak saja dieksplotasi nilai gunanya (use value)-pekerja, prostitusi, pelayan; akan tetapi juga nilai tukarnya (exchange value)-gadis model, gadis peraga, hostess; dan kini juga nilai tandanya (sign value)- eroticmagazine, erotic video, erotic photography, erotic film, erotic vcd, majalah porno, video porno, vcd porno, film porno, cyber-porn. (Piliang, 2010:264)
Sejak awal 1963, Betty Friedan, salah seorang juru bicara feminis liberal paling popular, mengecam industri periklanan dalam buku larisnya, The Feminine Mystique, karena mengabadikan dan mengksploitasi penindasan perempuan melalui streotipe iklan yang negatif. Para pengiklan secara sadar memanipulasi gamabaran mereka tentang perempuan untuk menjamin agar mereka terus tampil sebagai konsumen yang baik atas ribuan produk dan jasa yang dijual oleh industry makanan, obat-obatan, dan fashion (Ibrahim, 2011: 63).
2.2)       Eksplotasi Tenaga Kerja
Eksploitasi tenaga kerja menurut Marxis, pemberian imbalan yang tidak wajar kepada pekerja di mana jumlahnya kurang dari jumlah total produksi setelah dikurangi dengan biaya pemeliharaan barang-barang modal. Sementara itu, Marshal menyebutkan eksploitasi tenaga kerja ini berbentuk pembayaran upah yang kurang kepada pekerja dibanding dengan hasil marjinalnya. Eksploitasi tenaga kerja khususnya terhadap anak-anak dan perempuan, kini menjadi perhatian utama.
Secara sederhana eksploitasi tenaga kerja yaitu tenga kerja disuruh atau dipaksa tanpa henti dan istirahat, bekerja melebihi jam kerja yang telah ditetapkan dan tanpa diberikan hak-hak atau diberikan hak-haknya tetapi tidak sesuai dengan ketentuan yang telah ditentukan oleh peraturan perundang-undangan.
3.        Perempuan dan Dunia Kerja
Bangkitnya kesadaran kaum perempuan atas pelbagai kesenjangan akibat dominasi ideologi yang tidak adil (serba laki-laki) dalam masyarakat, khususnya dunia kerja, telah melahirkan sebuah anggapan yang diyakini, yakni suatu ideologi yang berusaha menjelaskan dan mencari strategis untuk mengubah hubungan asimetris dalam masyarakat menjadi hubungan yang lebih equal, adil, terbuka, dan demokratis.
Dahulu, orang tidak mempersoalkan terhadap pembagian peran dan pekerjaan berdasarkan jenis kelamin (seks), akan tetapi saat ini pembagian peran dan pekerjaan “harus” berdasarkan gender sebab jika tidak demikian maka akan menyebabkan kesenjangan dan ketidak-adilan (gender inequality).
Perempuan masih mengalami nasib menyedihkan akibat perlakuan diskriminatif dan penghargaan yang tidak berimbang dari struktur yang didominasi oleh laki-laki dalam dunia kerja. Dalam pekerjaan, perempuan masih menghadapi persoalan. Menurut Moore (Saptari & Holzner, 1997:20), makna kerja tidak hanya menyangkut apa yang dilakukan seseorang, tetapi juga menyangkut kondisi yang melatarbelakangi kerja tersebut, serta penilaian sosial yang diberikan terhadap pekerjaan tersebut.
Bekerja dalam pandangan agama adalah keniscayaan. “(Allah) yang menciptakan mati dan hidup untuk menguji kamu (manusia), siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya, yakni pekrjaannya” (QS. Al-Mulk [67]: 2). Bahkan tidak ditemukan satu teks keagamaan yang jelas dan pasti, baik dalam al-Qur’an maupun sunnah, yang mengarahkan kepada larangan bagi perempuan untuk bekerja walaupun diluar rumahnya. Pakar hukum Islam Mesir, Abu Zahrah, menulis : “Islam tidak menentang perempuan bekerja. Hanya saja, yang harus perempuan perhatikan adalah bahwa pekerjaan pokoknya yaitu membina rumah tangga karena perempuanlah yang mampu melindungi rumah tangga dengan kasih sayang mereka. Perempuanlah yang mendidik anak-anak mereka. Pada zaman Nabi SAW, perempuan-perempuan telah bekerja dengan aneka pekerjaan3. Syaikh Muhammad al-Ghazali, seorang ulama kontemporer, mengemukakan emapat hal dalam kaitan kerja perempuan, yakni :
1)      Perempuan tersebut memiliki kemampuan luar biasa yang jarang

3 .M. Quraish Shihab, “Membumikan Al- Qur’an”
dimiliki oleh perempuan maupun laki-laki.memperkenankannya bekerja, membuahkan kemaslahatan untuk masyarakat karena adanya
pada diri perempuan tersebut kelebihan itu, sedangkan menghalangi keterlibatannya bekerja dapat merugikan masyarakat karena tidak dapat memanfaatkan kelebihannya.
2)      Pekerjaan yang dilakukannya hendaklah yang layak bagi perempuan, seperti pendidikan atau menjadi bidan. Bahkan Muhammad al-Ghazali mengutip pakar hukum Islam, Kamaluddin Ibnu al-Humam, “Suami tidak boleh meelarang istrinya untuk melakukan pekerjaan yang sifatnya fardhu Kifayah yang khusus berkaitan dengan perempuan, seperti menjadi bidan,” tetapi ketika keluar bekerja, perempuan harus tampil dengan sikap dan pakaian terhormat.
3)      Perempuan bekerja untuk membantu suaminya dalam pekerjaannya. Dimana istri membantu suami dalam usaha pertanian dan semamnya.
4)      Bahwa perempuan perlu bekerja demi memenuhi kebutuhan hidupnya dan kebutuhan hidup keluarganya jika tidak ada yang menjamin kebutuhannya atau, kalaupun ada, itu tidak mencukupi.
      Pada prinsipnya, Islam tidak melarang perempuan bekerja. Selama perempuan dapat memelihara tuntunan agama serta dapat menghindarkan dampak-dampak negatif dari pekerjaan yang ia lakukan itu terhadap diri, keluarga, dan lingkungannya4. Yang digariskan hanyalah bahwa pekerjaan tersebut tidak menjadi beban yang sangat berat dipiku, baik karena lamanya waktu kerja maupun karena sifat pekerjaan.

B.       PERAN DAN KONDISI PEREMPUAN DI DUNIA TAMBANG
Industri pertambangan adalah wilayah yang selalu diasosikan sebagai wilayah laki – laki. Konstruksi dunia pertambangan sebagai dunia laki – laki telah dimulai

4.        M. Quraish Shihab, “Perempuan”. Jakarta :402
sejak zaman kolonial. Dimana dimulai dari proses rekruitmen tenaga kerja di sektor pertambangan yang selalu mencantumkan beberapa persyaratan seperti berat badan, kekuatan dan kesehatan prima.5 Sehingga pertambangan adalah dunia produktif yang tidak bisa dimasuki kaum perempuan. Karenanya, lapangan kerja yang tersedia di sektor pertambangan yang lebih beradaptasi dengan dunia laki-laki merupakan konstruk dari sistem kapitalisme yang mau mendapat surplus dari tenaga kerja yang murah. Itulah sebabnya sangat sulit kita menemukan di wilayah pertambangan, penduduk asli bekerja di level managerial, kecuali buruh kasar dan buruh upahan dari produksi pertambangan.6. Dalam konteks inilah secara langsung akan terjadi proses diferensiasi pekerjaan berdasarkan jenis kelamin. Artinya untuk memastikan proses produksi berjalan dengan baik, maka pertambangan membutuhkan tenaga kerja laki-laki untuk menjadi buruh kasar.

1.        PERAN PEREMPUAN DI PERUSAHAAN TAMBANG
Peningkatan partisipasi perempuan di sektor ini dipandang sebagai strategi kunci untuk mengatasi kekurangan pekerja terampil saat ini. Banyak perusahaan yang ingin meningkatkan perekrutan pekerja perempuan dan menurunkan retensi  terhadap pekerja perempuan karena mereka mengenali peluang yang signifikan untuk meningkatkan produktivitas bisnis melalui peningkatan partisipasi perempuan di sektor ini.7  Perempuan masih banyak melakukan pekerjaan di sektor domestik atau informal yang tidak memerlukan keahlian dan keterampilan yang tinggi, Stereotype yang muncul terhadap pekerja perempuan adalah sosok yang mampu bekerja dengan ketekunan, ketelitan, pekerjaan di bidang yang sama dengan jangka waktu yang panjang, serta upah yang rendah.8
5.  Erwiza Erman, Tambang, Permpuan dan Negara Gagal.. Makalah, 2010
6.  Idham Arsyad, Penetrasi kapitalisme pertambangan dan ketidakadilan gender. Studi Kasus PT. Inco dan dampaknya terhadap perempuan, dalam Buku Identitas Perempuan Indonesia, 2010: 129
8.   Rany Ayu Wardani, Kesetaraan dan Keadilan Untuk Pekerja Wanita Dalam Kajian Gender. Makalah https://www.academia.edu/8064543/Kesetaraan_dan_Keadilan_Untuk_Pekerja_Wanita_Dalam_Kajian_Gender
Hal tersebut berdampak pada posisi perempuan dalam pekerjaan yang tidak akan mendapatkan kenaikan jabatan dan upah gaji yang lebih baik dibandingkan dengan laki-laki. Stereotipe merupakan suatu bentuk penindasan ideologi dan kultural, yakni pemberian label yang memojokkan kaum perempuan sehingga berakibat ke pada posisi dan kondisi kaum perempuan9.
Karena industri pertambangan terus tumbuh, perusahaan pertambangan semakin banyak merekrut orang-orang yang berkualitas dan perempuan berhak mendapatkan kesempatan yang sama dalam hal ini membantu memenuhi peranan kerja terampil. Berikut ini beberapa kesempatan perempuan dalam peranannya di perusahaan tambang, yakni :
a.)     Peranan di Bidang Ilmiah: perempuan dengan gelar science universitas sangat diminati. Pekerjaan pertambangan dan migas tersedia bagi perempuan yang memenuhi syarat dalam bidang geologi, geo-science, surveyor, teknik, teknik kimia, ilmu sosial, manajemen lingkungan dan teknik mesin, dll.
b.)       Peranan di Bidang Bisnis: Tentu, pertambangan adalah "bisnis besar". Ini membuka pintu untuk perempuan dengan gelar bisnis, terutama dalam bidang manajemen, akuntansi, manajemen proyek, sumber daya manusia dan kesehatan keselamatan kerja.
c.)        Peranan di Bidang TI: Industri pertambangan berkembang, sehingga harus didukung teknologi informasi (TI) dan perangkat lunak. Perempuan dapat menemukan pekerjaan di bidang TI, termasuk manajemen database, rekayasa sistem, helpdesk, sistem pendukung dan pemrograman software.
d.)       Peranan Berbasis Teknis: Teknisi listrik, petugas boiler, tukang las dll. Hanya saja, memang bidang ini masih banyak yang diisi oleh kaum laki-laki.
e.)        Peranan Kerja Berat: Saat ini, semakin umum menemukan perempuan yang bekerja sebagai pengebor, pengemudi truk, operator dump truck atau operator mobile (mengemudi loader front-end, bulldozer, excavator, backhoe, grader,
9. DR. Mansour Fakih, “Analisis Gender & Transormasi Sosial”, Yogyakarta :149.
scaper, dan truk forklift). Peranan ini perlu Pelatihan dan Pengembangan yang tepat untuk mengambil kesempatan ini.
f.)        Peranan Berkualitas Lainnya: Mari berpikir di luar kotak. Ada banyak pekerjaan di pertambangan yang membutuhkan orang-orang yang memenuhi syarat dalam bidang non-migas. Contoh yang baik termasuk staf pendukung di tempat kerja, termasuk instruktur dan pelatih kebugaran, koki, psikolog dan staf medis.
Perempuan tanpa kualifikasi profesional khusus,  biasanya mendapatkan keberhasilan dalam yakni : Administrasi Kantor, Katering (misalnya asisten dapur), Petugas Kebersihan, Kerja lapangan (pengumpulan data).
2.        KONDISI PEREMPUAN DI PERUSAHAAN TAMBANG
Bekerja di tambang tidak semudah yang dibayangkan, baik proses masuk maupun saat bekerja. Bekerja di tambang dituntut dengan fisik yang prima, karena Perusahaan tambang beroperasi selama 24 jam, sistem kerja shift untuk level tertentu. Pekerjaan di tambang menguras fisik dan pikiran. Selain itu biasanya pekerja tambang, tinggal dalam perumahan atau mess yang disediakan oleh perusahaan. Bahkan  Pekerjaan di tambang diperlukan kewaspadaan karena bekerja diantara mesin, alat berat dan di tengah masyarakat yang kadang muncul dinamika (demo masyrakat). Namun sampai hari ini masih saja ada pekerja perempuan yang mempertaruhkan hidup mereka untuk bekerja di tambang, setiap harinya mereka berhadapan langsung pada resiko kecelakaan atau bencana akibat tidak mengutamakan keselamatan dalam bekerja.
Lokasi pertambangan umumnya berada di pedalaman (remote area) sehingga rawan dengan penyakit seperti malaria.  Bagi orang yang daya tahan tubuhnya lemah ini bukan hal yang sulit terkena penyakit malaria.
Karyawan yang bekerja di lokasi pertambangan akan mendapatkan fasilitas tempat tinggal termasuk di dalamnya loundry maupun konsumsi. Kualitas dari fasilitas tersebut tentu saja tergantung kualitas perusahaan, ada yang tempat tinggal dengan standar hotel bintang 3, ada juga yang berupa barak kayu yang cukup untuk tidur berjajar. Beberapa perusahaan pertambangan besar bahkan memberikan fasilitas perumahan karyawan lengkap untuk tinggal keluarga, dengan fasilitas dan perabotan lengkap ditanggung perusahaan.
Selain fasilitas, karyawan juga diberikan hak untuk cuti lapangan. Aturan cuti lapangan ini bervariasi tergantung kebijakan perusahaan, ada yang setiap 8 minggu kerja – 2 minggu cuti, ada yang 27 hari kerja – 7 hari cuti, dan bahkan ada perusahaan tambang yang hanya memberikan fasilitas cuti 12 hari kerja cuti dalam setahun10. Pekerjaan ekplorasi yang terus menerus mengharuskan para pekerja untuk siap bekerja dalam keadaan dan kondisi apapun. Konsekuensi adalah jam kerja dan waktu istirahat yang tidak sesuai dengan hari kerja atau libur dari kalender nasional atau pemerintah, hari kerja atau libur akan disesuaikan sendiri oleh masing-masing perusahaan, akan tetapi tetap tidak menyimpang dari kaedah perundang-undangan tenaga kerja yang berlaku11.
Walaupun kondisi pekerja perempuan maupun laki-laki mendapat hak dan kewajiban yang sama, selain itu pembagian kerja yang didapatkan perempuan maupun laki – laki dalam hal ini tidak ada yang berbeda. Keberadaan perempuan yang didominasi laki-laki ini menyebabkan perempuan makin terpuruk, sulit bergaul, dikucilkan, dan semakin tergalang kekuatan mayoritas laki-laki dan makin membenarkan anggapan bahwa “di sini tempat laki-laki”. Dua kondisi berbeda yang terjadi pada perempuan sebagai kelompok minoritas dalam budaya yang serba laki-laki, merupakan iklim yang tidak sehat bagi kepribadian perempuan dalam menjalankan tugas pekerjaannya. Dengan demikian, keberadaan perempuan dalam lingkup yang serba laki-laki tidak serta merta berarti “baik” untuk perempuan.
Perempuan sering di tempatkan sebagai buruh dimana memiliki jabatan yang lebih rendah dengan laki-laki yang biasanya lebih mendominasi dengan jabatan mandor atau kepala bagian. Kondisi tersebut dialami oleh perempuan hampir di seluruh dunia dan salah satunya adalah Indonesia.12
10.  Dinamika Kerja : http://www.petromindo.com/job.php
12. Rany Ayu Wardani, Kesetaraan dan Keadilan Untuk Pekerja Wanita Dalam Kajian Gender: https://www.academia.edu/8064543/Kesetaraan_dan_Keadilan_Untuk_Pekerja_Wanita_Dalam_Kajian_Gender
Ketika industri pertambangan sudah membentuk masyarakat tambang (baca;masyarakat kapitalis), maka perempuan kemudian menjadi komoditi bagi industri pertambangan. Sehingga tidak mengherankan bila pada masyarakat tambang justru berkembang tempat prostitusi.
Pekerja perempuan yang berada di level bawah, riskan mendapat perlakuan yang sewenang – wenang dari tempat bekerja, sejumlah perempuan menanggung derita akibat pelecehan seksual, maupun kekerasan fisik dalam bentuk paling berat yaitu perkosaan sebagai contoh: PT Kelian Equatorial Mining (KEM), bahkan beberapa pekerja perempuan hanya bungkam karena adanya bentuk intimidasi.13
Permaslahannya adalah pekerja tambang rata-rata adalah pria, berada jauh dari keluarga. Ketika libidonya muncul, lokalisasi yang ada di sekitar kawasan kerja mereka dapat menjadi alternatif pilihan. Posisi Perempuan, dalam aktivitas pertambangan sungguh sangat riskan.
Adapun pelbagi hal yang melatar belakangi perempuan memasuki dunia pertambangan tak lain tekanan ekonomi, sebagian perempuan yang tidak memiliki keahlian khusus menempati ruang-ruang dilevel bawah.  Penelitian yang dilakukan oleh Suratiyah (1996), bahwa sepertiga pekerja perempuan menyatakan, dorongan mereka bekerja lebih disebabkan oleh tekanan ekonomi, dimana penghasilan suami tidak mencukupi kebutuhan rumah tangga. Kondisi tersebut akhirnya membuat istri terjun disektor publik untuk mecari nafkah tambahan, tanpa meninggalkan tugas utamanya mengurus rumah tangga. Di PT. Inco  perempuan di Desa Soroako, Kabupaten Luwu Timur, Sulawesi Selatan. Telah mengakibatkan terjadinya eksploitasi terhadap beban kerja perempuan serta peran ganda perempuan. Ketika perempuan kehilangan pekerjaan dari hancurnya sistem pertanian, maka perempuan secara terpaksa memasuki reproduksi ekonomi. Sehingga pada saat itulah perempuan kembali mengambil beban sebagai penopang ekonomi rumah tangga, dan pada saat yang bersamaan kaum perempuan sepulang kerja masih harus mengahdapi pekerjaan rumah tangga dan mengasuh anak sebagai subsidi, berbeda dengan laki-laki yang hidup untuk bekerja di luar rumah. Perempuan tidak dapat melepaskan diri dari kungkungan kehidupan rumah tangga, meski ia bekerja di luar 13. http://ragamartikelmenarik.blogspot.co.id/2009/05/kekerasan-terhadap-perempuan-di.html
rumah, sehingga beban ganda membelenggu kedua kakinya. Satu kaki berada ditempat kerja, dan satu kaki lagi berada diluar rumah. Dan ditempat kerjanya, dia mendapat tekanan karena dia harus melakukan pekerjaan seperti seorang laki-laki. Seperti dijelaskan Mumtahanah dari LBH-APIK, derita perempuan akibat industri tambang berlipat-lipat. Seperti, gangguan reproduksi (akibat pencemaran lingkungan dan air yang dikonsumsi), tekanan psikologis (korban pelecehan seks dan perkosaan) dan sosial (peminggiran peran mereka dalam aktivitas harian di lingkungannya sendiri).

C.      KEBIJAKAN YANG DIBERIKAN PERUSAHAAN TERHADAP PEKERJA PEREMPUAN
Bagi tenaga kerja wanita yang belum berkeluarga masalah yang timbul berbeda dengan yang sudah berkeluarga yang sifatnya lebih subyektif, meski secara umum dari kondisi objektif tidak ada perbedaan-perbedaan. Perhatian yang benar bagi pemerintah dan masyarakat  terhadap tenaga kerja terlihat pada beberapa peraturan-peraturan yang memberikan kelonggaran-kelonggaran maupun larangan-larangan yang menyangkut kehadiran seseorang perempuan yang secara umum seperti cuti hamil, kerja pada malam hari dan sebagainya.
Selain itu, masalah gangguan seksual (sexual harressment) seringkali dialami oleh perempuan di tempat kerja, baik oleh teman sekerja maupun oleh majikan. Gangguan ini bisa berbentuk komentar-komentar atau ucapan-ucapan verbal, tindakan atau kontak fisik yang mempunyai konotasi seksual. Walaupun seringkali oleh orang yang menjadi sasaran tindakan tersebut, suatu gangguan tampaknya tidak membahayakan secara langsung, namun dengan adanya tindakan itu yang mempunyai unsur kekuasaan dan dominasi, si orang tersebut selalu menjadi sadar akan keperempuannya dan keperawanannya terhadap gangguan-gangguan tersebut. Bentuk yang paling ekstrem dari gangguan seksual itu adalah perkosaan yang seringkali pula bentuknya sangat terselubung, dalam artian bahwa sering dianggap peristiwa tersebut sebagai peristiwa individual semata dan tidak menyangkut pelanggaran hak asasi manusia.
Masalah tenaga kerja saat ini terus berkembang semakin kompleks sehingga memerlukan penanganan yang lebih serius. Penerapan peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan juga dimaksudkan untuk menjaga keseimbangan atau keserasian hubungan antara hak dan kewajiban bagi pengusaha dan pekerja atau buruh sehingga kelangsungan usaha dan ketenagakerjaan dalam rangka meningkatkan produktivitas kerja dan kesejahteraan kerja dapat terjamin.
Berdasarkan objek perlindungan tenaga kerja Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan mengatur perlindungan khusus pekerja atau buruh perempuan dan anak sebagai berikut :

Di dalam pelaksanaan perlindungan bagi tenaga kerja perempuan yang bekerja yaitu Pasal 27 dan Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Undang-Undang No.8 Tahun 1981 tentang Perlindungan Upah, Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. 8. Per-04/Men/1989 tentang Syarat-syarat Kerja Malam dan Tata Cara Mempekerjakan Pekerja Peremuan pada Malam Hari, dan Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor Kep. 224/Men/2003 Tentang Kewajiban Pengusaha yang Mempekerjakan Pekerja/Buruh Perempuan antara pukul 23.00 sampai dengan Pukul 07.00. Semua peraturan tersebut secara jelas memberikan perlindungan kepada perempuan. Di Indonesia, ketentuan tentang perempuan mempunyai hak yang sama dengan laki-laki dalam bekerja telah diatur dalam Pasal 5 dan 6 UU No. 13 Tahun 2003. 
 
1.         Perlindungan Pekerja Perempuan Berdasarkan UU Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan
Dalam Pasal 1 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan disebutkan bahwa,”Tenaga kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang/atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat”.
Berdasarkan pengertian tersebut, maka yang dimaksud dengan Pekerja Perempuan adalah Tenaga Kerja Perempuan dalam jangka waktu tertentu berdasarkan perjanjian kerja dengan menerima upah.
Aturan hukum untuk pekerja perempuan ada yang berbeda dengan pekerja laki-laki, seperti cuti melahirkan, pelecehan seksual di tempat kerja, jam perlindungan dan lain-lain.

2.        PEDOMAN HUKUM BAGI PEKERJA PEREMPUAN
Pelaksanaan perlindungan hukum terhadap pekerja wanita berpedoman pada Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan khususnya Pasal 76, 81, 82, 83, 84, Pasal 93, Kepmenaker No. 224 tahun 2003 serta Peraturan Perusahaan atau perjanjian kerja bersama perusahaan yang meliputi:
2.1)    Perlindungan Jam Kerja
Perlindungan dalam hal kerja malam bagi pekerja wanita (pukul 23.00 sampai pukul 07.00). Hal ini diatur pada pasal 76 Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Tetapi dalam hal ini ada pengecualiannya yaitu pengusaha yang mempekerjakan wanita pada jam tersebut wajib:
                                  i.          Memberikan makanan dan minuman bergizi
                                ii.          Menjaga kesusilaan dan keamanan selama di tempat kerja
                              iii.          Menyediakan antar jemput bagi pekerja perempuan yang berangkat dan pulang bekerja antara pukul 23.00 – 05.00.
Tetapi pengecualian ini tidak berlaku bagi pekerja perempuan yang berumur di bawah 18 (delapan belas) tahun ataupun perempuan hamil yang berdasarkan keterangan dokter berbahaya bagi kesehatan dan keselamatan kandungannya apabila bekerja antara pukul 23.00 – 07.00.
Dalam pelaksanaannya masih ada perusahaan yang tidak memberikan makanan dan minuman bergizi tetapi diganti dengan uang padahal ketentuannya tidak boleh diganti dengan uang.

2.2)     Perlindungan Dalam Masa Haid
Pada Pasal 81 Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan diatur masalah perlindungan dalam masa haid. Perlindungan terhadap pekerja wanita yang dalam masa haid tidak wajib bekerja pada hari pertama dan kedua pada waktu haid dengan upah penuh. Dalam pelaksanaanya lebih banyak yang tidak menggunakan haknya dengan alasan tidak mendapatkan premi hadir.
2.3)      Perlindungan Selama Cuti Hamil
Sedangkan pada pasal 82 Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan mengatur masalah cuti hamil. Perlindungan cuti hamil bersalin selama 1,5 bulan sebelum saatnya melahirkan dan 1,5 bulan sesudah melahirkan dengan upah penuh. Ternyata dalam pelaksanaannya masih ada perusahaan yang tidak membayar upah secara penuh.
2.4)      Pemberian Lokasi Menyusui
Pasal 83 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan mengatur masalah ibu yang sedang menyusui. Pemberian kesempatan pada pekerja wanita yang anaknya masih menyusui untuk menyusui anaknya hanya efektif untuk yang lokasinya dekat dengan perusahaan.
D.      POSISI IDEAL PEKERJA PEREMPUAN DI PERUSAHAAN TAMBANG
Melihat posisi Perempuan, dalam aktivitas pertambangan sungguh riskan. Tempat terbaik perempuan ketika di dunia pertambangan, yaitu di level manajerial. Bahkan, Puluhan tahun lalu, pada 1935 pernah lahir konvensi yang melarang perempuan bekerja di seluruh tambang yang beroperasi di bawah tanah. Yang berlaku pada tahun 1937,  ditandatangani oleh sebuah komite dari Organisasi Buruh Internasional. Buku Perisai Perempuan, diterbitkan LBH-APIK, tahun 1999, mengulas latar belakang lahirnya konvensi ini. Salah satunya, “Melarang semua perempuan bekerja di semua jenis pertambangan. Kecuali, untuk mereka yang menempati posisi di level manajerial.”
Sektor pertambangan telah menjadi pemicu utama terjadinya proses pemiskinan perempuan akibat hilangnya mata pencarian perempuan di lahan-lahan mereka14. Jika perusahaan tetap menempatkan perempuan sebagai buruh kasar, sudah selayaknya pihak perusahaan memberikan perlindungan yang bukan sekedar wacana UU perlindungan. Perlu diadakannya survey terhadap tenaga kerja dan perlindungan serta rasa aman ketika perempuan berada diruang lingkup yang didominasi oleh laki-laki. Sekali lagi, bahwa kehadiran wanita tuna susila di wilayah pertambangan bukanlah proses alami sebagai bentuk dari diversifikasi pekerjaan karena terjadi transformasi, tetapi semua dalam kerangka bagaimana akumulasi kapitalisme tetap terjaga, dan salah satu metodenya adalah menjaga kebugaran dan kondisi mental dari para pekerja tambang15. Perusahaan pertambangan dengan pelbagai polemik, kondisi perempuan ini sudah seharusnya diperhatikan dan ditingkatkan kesejahteraan tenaga kerjanya khususnya perempuan dengan langkah adil sudah selayaknya perempuan mendapatkan peluang baru melalui : Paket pekerjaan fleksibel, Jadwal kerja ramah-ibu, Seragam yang sesuai, Kondisi kerja yang nyaman, Tingkat upah yang menarik, Lingkungan kerja yang menghormati gender, Cuti hamil yang diperpanjang, Fasilitas Menyusui, Perumahan untuk pasangan.
Secara hukum perusahaan memiliki tanggung jawab untuk menjaga kesehatan dan keselamatan pekerjanya, bukan hanya wacana mengenai maksimalisasi profit, karena pekerja merupakan aset bagian dari sumber daya yang dimiliki oleh perusahaan selain sumber-sumber yang lain yang dimiliki oleh perusahaan. Sudah selayaknya mengacu pada 12 hak reproduksi yang dirumuskan oleh International Planned Parenthood Faderation (IPPF) pada tahun 1996 salah satunya yaitu16: “hak untuk bebas dari penganiayaan dan perlakuan buruk termasuk hak-hak perlindungan anak dari eksploitasi dan penganiayaan seksual. Setiap individu

14. Aan Rukmana, M.Subhi Ibrahim, Sahrul Mauludi, “Perempuan, Ruang Publik & Islam”,  Jakarta, hal. 104
15. Idham Arsyad, “Penetrasi Kapitalisme Pertambangan dan Ketidak adilan Gender”, dalam buku Identitas Permpuan Indonesia, Depok : 131
16. Tommy Apriando, perempuan rembang merawat mata air kendeng: kajian dampak tambang    pada SRHR (sexual and reproductive health and rights) dalam buku Ecofeminisme III . Yogyakarta :358
mempunyai hak untuk dilindungi dari perkosaan, kekerasan, penyiksaan, dan pelecehan seksual.
Dan menciptakan lingkungan yang ramah gender yaitu lingkungan yang sesuai dengan perilaku manusia, atau perilaku manusia yang sesuai dengan lingkungan, dimana keduanya saling tidak merugikan17. Dalam lingkungan yang ramah gender, hak-haknya terlindungi, dan menjadi bahan penilaian apakah lingkungan sosial suatu institusi ramah terhadap perempuan atau tidak, setidaknya jika lingkungan tempat bekerja tersebut memiliki beberapa kriteria sebagai berikut :

a.)      Asas keadilan, kesetaraan, dan kemitraan antara perempuan dan laki-laki tidak hanya menjadi slogan dalam pernyataan misi intuisi, melainkan harus diterapkan dalam kebijakan-kebijakan, peraturan-peraturan internal, dan mekanismenya.
b.)      Sumber-sumber daya yang ada harus disalurkan untuk menerapkan kebijakan-kebijakan yang adil terhadap perempuan.
c.)      Ada forum pertanggung-jawaban atas praktek penerapan asas keadilan, kesetaraan, dan kemitraan sebagaimana yang sudah menjadi kebijakan tertulis.
d.)     Ada keseimbangan jumlah perempuan dan laki-laki dalam pembagian kerja, jabatan, promosi.
e.)      Harus berusaha mewujudkan sistem manajemen yang memiliki komitmen terhadap kesetaraan gender, untuk perempuan dan laki-laki.
f.)       Manajemen yang diterapkan bukan manajemen feminim, tetapi manajemen gender, di mana setiap orang memiliki peluang yang sama, mendapat pengakuan dan apresiasi yang sama, tanpa memandang perbedaan etnik, golongan, dan jenis kelamin.
g.)      Manajemn yang diterapkan terbuka untuk menerima perubahan, berorientasi kepada pengembangan dukungan SDM secara keseluruhan, umpan balik yang bermanfaat, serta mendorong kemajuan sesama rekan kerja.
h.)      Hubungan manajemen harus diusahakan tidak vertikal.

17. Dr. Hj. Eti Nurhayati, M.Si., “Psikologi Perempuan”, Yogyakarta. Hal 100-103.
i.)        Didorong untuk ada ruang pembetukan prakarsa dari bawah ke atas (bottom-up) serta forum informal yang ‘mendatar’ untuk dialog dan pertukaran gagasan.
j.)        Sistem demokrasi yang diterapkan dalam manajemen bukan demokrasi perwakilan, tetapi setiap individu terakomodasi aspirasinya dalam sistem demokrasi tersebut.
k.)      Tidak menawarkan peran-peran yang stereotip kepada perempuan dan laki-laki.
l.)        Ada akses pembuatan keputusan secara tertulis yang tidak tergantung pada kepribadian dan usaha perorangan.
m.)    Dapat menampung aspirasi peran biologis perempuan sebagai manusia yang memiliki segala kelebihan dan kelemahan yang disandang oleh perempuan dan laki-laki dalam hubungan dengan mitra rumah tangga, teman, kerabat, dan anggota masyarakat di mana mereka tinggal
n.)      Semua unsur perempuan dan laki-laki , atasan dan bawahan harus merasa ‘kerasan’ berada dalam lingkungan tersebut. Kualitas terbaik setiap manusia di dalam lingkungan tersebut harus diakui, dihargai, dan didukung.
o.)      Setiap orang dalam lingkungan tersebut merasa terlindungi dan didukung hak-hak individunya untuk memenuhi kebutuhan aktualisasi diri dalam bersosial.

Ditangan pemimpin perempuan atau laki-laki yang mempunyai visi lingkungan yang ramah terhadap perempuan dan menerapkannya dalam manajemen kepemimpinan di lingkungannya, akan meningkatkan produktivitas kerja, terjadi kompetisi sehat, dan jauh dari dampak psikologis negatif lingkungan sebagaimana telah tersebut di atas.
Sikap eksploitatif, dominasi, dan otoriter, bukan sekedar membawa petaka pada lingkungan, tetapi merusak perilaku manusia yang berada dalam lingkungan tersebut. Inilah pesan moral al-Qur’an kepada manusia sebagai Khalifah Fil ardh.



BAB III
PENUTUP

A.      KESIMPULAN
Dari pembahasan diatas dapat ditarik kesimpulan, bahwa dalam pekerjaan perempuan masih menghadapi persoalan. Ketika emansipasi hadir ditengah-tengah perempuan, emansipasi telah menunjukan perempuan dapat bersaing di dunia kerja. Membantu perempuan untuk melebarkan sayapnya di ranah publik. Dengan kapasitas yang dimiliki perempuan mampu membuatnya bersaing di level atas. Tetapi tidak semua perempuan mengalami nasib yang sama, seperti yang telah dibahas sebelumnya, berbeda kondisinya dengan perempuan yang bekerja dengan latar belakang tekanan ekonomi, dalam posisi ini perempuan  bekerja dengan orientasi untuk mencari upah bukan karir. Hal ini membuat buruh kasar di perusahaan tambang terisi dengan kehadiran perempuan. walaupun tenaga kerja perempuan telah diatur dalam UU, tetapi masi saja ada perusahaan yang keluar dari koridor yang telah ditetapkan UU, tentu saja hal ini memperburuk keadaan perempuan selain eksploitasi beban kerja, perempuan menghadapi peran ganda. Kenyataan perempuan di dunia tambang masih belum sesuai dengan penerapan UU. Walaupun dalam agama Islam tidak melarang perempuan untuk bekerja, tetapi dalam hal ini lebih ditekankan pada manfaat dan mudarotnya. Melihat kenyataan yang diihadapi perempuan dalam dunia tambang, manfaat dan mudarotnya tergantung pada posisi perempuan itu sendiri. Karena lingkungan dan peranannya sangat berpengaruh. Bekerja diantara pekerja yang didominasi oleh laki-laki, membuat perempuan tidak selalu nyaman, dibutuhkannya kewaspadaan untuk menjaga dirinya sebagai perempuan. kenyataanya kini dunia tambang, telah berkembangnya tempat prostitusi. Jadi, posisi yang strategis untuk pekerja perempuan yaitu level atas sebagai manajer atau yang mempunyai wewenang penuh. Posisi dapat meminimalisir terjadinya pelecehan seksual, dalam kondisi ini laki-laki tidak dapat semena-mena terhadap perempuan.


B.       SARAN
1.        Saran Untuk Pekerja Perempuan Didunia Tambang
Mengakaji dan mengetahui hak-hak normatif sebagai tenaga kerja perempuan, membekali diri dengan sikap berani dan tegas sebagai solusi perempuan yang mengalami pelecehan seksual.
2.        Saran Untuk Pekerja Perempuan
Ketika dalam keadaan tekanan ekonomi, khususnya perempuan yang telah berkeluarga, untuk memilih pekerjaan yang dapat menyeimbangkan antara peran domestik dan publiknya, contohnya: berjualan di warung, menjadi buruh tani, bercocok tanam.
3.        Saran Untuk Perusahaan
Untuk perusahaan yang  belum sepenuhnya menjabarkan hak-hak normatif tenaga kerja perempuan,  perlu  segera  melengkapi  penjabaran  hak-hak  normatif  tenaga  kerja  tersebut, karena penjabaran dan pemenuhan hak-hak normatif tenaga kerja tersebut merupakan salah satu  cara  untuk  meningkatkan  citra  perusahaan.  Perusahaan-perusahaan  yang  belum menjabarkan hak-hak normatif tenaga kerja perempuan di dalam peraturan perusahaan dan perjanjian  kerjanya  perlu  segera  menjabarkan  hak-hak  normatif  tenaga  kerja  perempuan sesuai dengan peraturan perundangundangan dalam rangka penyelenggaraan hubungan kerja yang adil. Melakukan pengawasan UU dan tenaga kerja perempuan, serta menerapkan lingkungan yang ramah perempuan di dunia kerja.









DAFTAR PUSTAKA

Shihab, M, Quraish, 2005, “Perempuan”, Jakarta, Lentera Hati.
DR, Fakih, Mansour, 2013, “ Analisis Gender & Transformasi Sosial”, Yogyakarta, Cet 15, Pustaka Pelajar.
Candraningrum, Dewi. Hunga, Arianti, Restiani, Ina, 2015,  “Ekofeminisme III, Tambang, perubahan iklim & memori rahim”, Yogyakarta, Cet 1, Jalasutra.
Ujianto, Ari. Nurkhoiron, Muhammad, 2010, “Identitas Perempuan Indonesia: status, pergeseran relasi gender, dan perjuangan ekonomi politik”, Depok, Desantra Foundation.
Dr. Hj., Nurhayati, Eti, M.Si, 2014, “Psikologi perempuan dalam berbagai perspektif”, Yogyakarta, Cet 2, Pustaka Pelajar.
Rukmana, aan., Ibrahim, M, Subhi., Mauludi, Sahrul, 2014, “Perempuan, Ruang Publik & Islam pengalaman seminar dari kota ke kota”, Jakarta, Cet 1, PT Ariesta Offset.
Kesempatan Kerja Bagi Wanita di Industri Pertambangan dan Migas : http://www.indoenergi.com/2013/08/kesempatan-kerja-bagi-wanita-di.html?m=0
Perlindungan Hukum Tenaga Kerja Perempuan Dan Anak : http://fikamaliq.blogspot.co.id/2014/02/perlindungan-hukum-tenaga-kerja.html

Komentar

Postingan Populer